Bekasi, Rasilnews – Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2005-2013 sekaligus narasumber tetap Radio Silaturahim Network, Abdullah Hehamahua membeberkan, 90 persen nama-nama calon menteri Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang telah dipanggil itu telah terlibat kasus korupsi.
Apalagi, kata Abdullah, banyak menteri di era Jokowi yang kembali masuk ke kabinet Prabowo. Padahal, sejumlah menteri tersebut pernah tersandung kasus korupsi.
“Dari calon-calon menteri yang dipanggil Prabowo yang saya kenal, tidak sampai 10 orang yang punya integritas dalam hal pemberantasan korupsi. 90 persen terlibat korupsi karena beberapa menteri lama masih dipakai, padahal menteri lama itu terlibat korupsi seperti Airlangga (Menko Perekonomian) punya kasus nikel dan macam-macam, Ketum PAN (Mendag Zulkifli Hasan) punya kasus, apalagi Bahlil (Menteri ESDM). Jadi orang-orang lama dari Jokowi itu semua orang yang terlibat korupsi,” kata Abdullah dalam siaran Topik Berita Radio Silaturahim 729 AM, Bekasi, Jawa Barat pada Jumat (18/10) pagi.
“Ada beberapa orang baru yang meskipun saya tidak terlalu kenal baik, tapi saya coba lihat background-nya, saya kira tidak sampai 10 orang lah yang memiliki integritas dan punya kemampuan untuk memberantas korupsi,” sambungnya.
Meski demikian, Abdullah mengaku ragu 10 orang tersebut bisa menghadapi dan memperbaiki jumlah mayoritas yang sudah terlibat kasus rasuah. Pasalnya, tokoh kelahiran Ambon itu menilai bahwa Indonesia sudah mengalami krisis korupsi yang berarti sulit untuk dihindari.
“Pernah disampaikan oleh Mahfud MD sebelum masuk kabinet bahwa korupsi di Indonesia itu malaikat masuk ke situ pun bisa ikut terlibat, kiai masuk ke situ pun ikut terlibat korupsi seperti itu. Jadi apakah 10 orang ini mampu menghadapi 30 orang lebih itu? Saya katakan bahwa kabinet ini, kabinet transaksional karena janji-janji pada Pilpres. Itu yang harus diperhatikan,” ujar Abdullah.
Dia pun menantang Prabowo jika memang ingin memberantas kasus korupsi di Indonesia, maka seharunya pascapelantikan, Prabowo bisa mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memecat wakilnya, Gibran Rakabuming Raka atas berbagai dugaan korupsi yang menjeratnya.
“Kalau memang Prabowo mau betul-betul menunjukkan bahwa dia memberantas korupsi, maka yang harus dia lakukan ialah setelah selesai pelantikan mengajukan kepada MK untuk memecat Gibran karena Gibran terlibat banyak kasus korupsi, baik soal pesawat pribadi, penipuan ijazah dan seterusnya, kemudian berdasarkan UUD 1945 soal etika, fufufafa dan seterusnya. Kalau itu dilakukan Prabowo, maka Prabowo bisa mendapatkan simpati dari masyarakat bahwa Prabowo betul-betul mau memberantas korupsi. Ini yang menjadi tantangan buat Prabowo, apakah betul-betul ia menggunakan taktik setelah terpilih baru dia singkirkan Jokowi dan seterusnya. Itu satu pertanyaan yang berdasarkan pengamatan-pengamatan, agak sukar,” tegas Abdullah.
Selain itu, ia juga menyoroti sejumlah calon wakil menteri kabinet Prabowo yang berlatar belakang politisi. Abdullah menyebut hal ini sebagai sebuah kejanggalan karena di negara-negara modern seperti Malaysia, wakil menteri seharusnya jabatan karier bukan jabatan politik.
“Ini aneh Indonesia ini. Di negara-negara modern, khususnya di Malaysia, wakil-wakil menteri itu adalah jabatan karier. Nah sementara yang direkrut (oleh Prabowo) itu bukan jabatan karier tapi jabatan politik. Karena jabatan politik, nanti ada konsetuensinya. Misalnya partai A mengatakan, Anda masuk sana (kabinet) tugas Anda blablabla, jangan lupa untuk isi kas partai. Ingat kasus (korupsi) Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang merupakan Wakil Bendahara PDIP dan dia harus menyetor sekian ke kas partai. Ada seperti itu. Jadi wakil-wakil menteri yang juga orang politik, tidak terlepas dari komitmen-komitmen kepartaian itu,” jelasnya.
Abdullah selanjutnya menyinggung gelar Doktor yang diraih Menteri ESDM Bahlil Lahadalia baru-baru ini yang juga tengah ramai diperbincangkan masyarakat.
Ia bahkan menyebut, hanya Indonesia yang bisa memberikan gelar Doktor kepada orang yang bukan berprofesi sebagai dosen.
“Yang menarik lagi, menjelang pelantikan, ada tiga orang yang kemudian ambil gelar Doktor. Ini aneh sekali Indonesia ini. Di dunia ini, hanya di Indonesia yang Doktor itu bukan dosen. Di Malaysia, orang mau ambil Doktor itu harus dosen, jadi ada syarat-syaratnya. Tapi di Indonesia, menjelang Pemilu, Pilkada, Pilpres orang ambil Doktor biar keren orang pajang dia punya nama tapi dia bukan dosen,” ungkapnya.
Abdullah pun menyebut, Universitas Indonesia sebagai kampus yang memberikan gelar tersebut bermasalah. “Lembaganya bermasalah, jelas bermasalah,” kata dia.
Sebanyak 34 orang Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP-UI) mengajukan petisi untuk menuntut Universitas Indonesia (UI) agar melakukan kaji ulang terhadap pemberian gelar Doktor kepada Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Jumat (18/10).
Perlu diketahui, Bahlil Lahadalia menyelesaikan studi doktoralnya dalam waktu kurang dari dua tahun, yang sangat mencolok jika dibandingkan dengan standar waktu yang ditetapkan oleh Peraturan Rektor UI tentang Penyelenggaraan Program Doktor.***