Ichsanudin berharap Indonesia mampu bertahan dalam pusaran gelombang Ketidakpastian Ekonomi
Cibubur, Rasilnews – Situasi perekonomian global saat ini tengah berada dalam ancaman stagflasi berkesinambungan, sebuah fenomena yang ditandai oleh lambatnya pertumbuhan ekonomi disertai inflasi tinggi. Dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim, Kamis (26/12/24), Pengamat Ekonomi dan Politik Ichsanudin Nursi merujuk pada data dari berbagai organisasi internasional seperti G20, OECD, IMF, dan Bank Dunia. Kondisi ini, menurutnya, telah terlihat di beberapa negara termasuk Thailand, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, serta memberikan dampak signifikan terhadap negara-negara lain, terutama di kawasan Asia.
Menurutnya, Thailand sebagai pusat produksi industri otomotif di Asia, menjadi salah satu negara yang terdampak. Melemahnya pasar otomotif global yang disebabkan oleh perlambatan ekonomi, umum mengakibatkan penurunan permintaan kendaraan. Dampak berantai dari fenomena ini terlihat pada pengurangan produksi, penurunan pertumbuhan ekonomi, hingga meningkatnya persoalan ketenagakerjaan. “Dampaknya juga meluas ke kemampuan masyarakat membayar kewajiban utang mereka,” jelasnya.
Ichsanudin mengungkapkan bahwa perekonomian global saat ini juga menghadapi tantangan dari lima model perang ekonomi yang kompleks, perang dagang, perang nilai tukar, perang teknologi informasi dan komunikasi (ICT), perang ekonomi, serta perang hibrida. “Ini bukan hanya sekadar persaingan, tetapi menggambarkan peperangan sistem dan lembaga yang mendasari ekonomi global,” tegasnya.
Sebagai contoh, rivalitas antara lembaga-lembaga keuangan seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan New Development Bank (NDB) yang didukung Tiongkok, melawan bank-bank besar Barat menunjukkan dinamika geopolitik yang memengaruhi kawasan Asia. Model ekonomi neoliberal, yang mengedepankan keberlanjutan pertumbuhan (sustainable development growth), kini berhadapan dengan Belt and Road Initiative yang menekankan kerjasama pertumbuhan (cooperative growth).
Mantan jurnalis ini kemudian mengajak masyarakat untuk melihat dalam konteks domestik bahwa Indonesia juga menghadapi tantangan serupa. Meski upaya meningkatkan rasio pajak terus digaungkan, persoalan struktural fundamental seperti besarnya beban pembayaran utang menjadi penghambat. “Kita menghadapi masalah struktural, bukan sekadar persoalan fungsional. APBN Indonesia terlalu besar menanggung beban pembayaran bunga utang, yang pada 2025 diperkirakan mencapai Rp546 triliun hanya untuk bunga,” ujarnya.
Ia mengkritisi pendekatan ekonomi yang hanya berfokus pada aspek mekanistik tanpa melihat akar masalah yang bersifat organistik. “Pendekatan struktural fundamental lebih mendalam karena melihat akar masalah ekonomi secara holistik, seperti yang diajarkan dalam Al-Quran,” tambahnya.
Ia menegaskan pentingnya kolaborasi antarnegara dan reformasi struktural fundamental dalam menghadapi tantangan ekonomi global ini. Tanpa langkah konkret, Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam posisi “ekor” ekonomi global akan terus menghadapi tekanan dari perlambatan ekonomi yang terjadi di “kepala” ekonomi dunia.
Diakhir perbincangan, Ichnudin menunjukkan betapa kompleksnya tantangan ekonomi global saat ini, dan pentingnya pendekatan yang holistik serta berbasis data dalam mencari solusi. “Bagaimana Indonesia mampu bertahan dan berkembang di tengah pusaran ini akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat,” ujarnya.