Cibubur, Rasilnews – Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat yang tinggal menghitung hari, perdebatan panas melibatkan berbagai komunitas, termasuk komunitas Muslim yang sedang berada dalam dilema besar. Pilpres kali ini mempertemukan dua calon yang sama-sama membawa tantangan bagi umat Muslim di Amerika Serikat. Ustaz Syamsi Ali, seorang tokoh Muslim Indonesia yang telah lama menetap di Amerika, memberikan pandangannya mengenai situasi ini dalam sebuah Dialog Topik Berita di radio Silaturahim, Kamis (31/10),
“Memang akhir-akhir ini sedang hangat sekali karena tinggal 6 hari lagi pemilihan presiden di Amerika Serikat. Komunitas Muslim menghadapi dilema dalam menentukan pilihan,” ungkap Ustaz Syamsi. “Dilemanya adalah karena kedua calon ini tampaknya tidak banyak memberikan keuntungan yang nyata dalam memenuhi kepentingan komunitas Muslim di sini,” lanjutnya. Menurut Ustaz Syamsi, ada dua faktor utama yang memengaruhi pilihan komunitas Muslim, yaitu faktor domestik dan faktor global.
Di sisi domestik, Ustaz Syamsi mengakui bahwa komunitas Muslim lebih condong ke arah kandidat dari Partai Demokrat, Kamala Harris. Menurutnya, kepemimpinan Demokrat cenderung memberikan ruang lebih besar bagi komunitas Muslim untuk bergerak dan melakukan langkah-langkah positif dalam memperbaiki keadaan sosial dan politik.
“Ketika Demokrat berkuasa, terutama jika Kamala Harris yang memimpin, ada ruang lebih besar bagi kita untuk bermanuver dan melakukan tindakan yang dapat memperbaiki kondisi kita di Amerika,” ujarnya. Namun, ia juga mengingatkan bahwa meski Demokrat menawarkan lebih banyak kesempatan secara sosial, mereka memiliki sejarah kebijakan yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai moral Islam. “Misalnya dalam hal pernikahan sejenis dan hak-hak LGBT. Komunitas Muslim pasti menolak konsep-konsep tersebut, karena bertentangan dengan nilai yang kami yakini,” tegasnya.
Di tingkat global, Ustaz Syamsi Ali melihat bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara Partai Republik maupun Demokrat dalam kebijakan luar negeri mereka. “Dalam hal kebijakan global, sebenarnya keduanya hampir sama saja,” ujarnya. Ia menambahkan, meski Partai Republik sering kali dianggap tidak mendorong banyak peperangan selama masa kekuasaan mereka, itu tidak selalu benar.
“Pernyataan bahwa Republik lebih damai mungkin keliru, karena kita bisa melihat contohnya dalam Perang Afghanistan dan Irak. Kedua perang ini terjadi pada masa pemerintahan Republik,” jelas Ustaz Syamsi. Ia juga menyoroti kebijakan Trump yang sebelumnya memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem, bertentangan dengan resolusi PBB dan hukum internasional.
Menurut Ustaz Syamsi, ada kekhawatiran bahwa jika Trump kembali berkuasa, ia akan lebih mudah menerapkan kebijakan-kebijakan kontroversial tanpa banyak pertimbangan. “Kita ingat bagaimana Trump mengeluarkan kebijakan melarang beberapa negara mayoritas Muslim masuk ke Amerika. Jika terpilih lagi, dia mungkin akan menerapkan larangan lebih ketat karena sudah tidak memikirkan periode kedua,” katanya.
Beberapa anggota komunitas Muslim di Amerika juga mempertimbangkan kandidat ketiga sebagai opsi, meski sangat kecil kemungkinan kandidat tersebut bisa menang. “Memilih kandidat ketiga mungkin aman secara moral, tetapi secara strategis kalah. Suara kita tetap akan terbagi antara Demokrat dan Republik, dan itu bisa berarti secara tidak langsung kita mendukung salah satu dari dua kandidat yang memang punya peluang menang,” jelas Ustaz Syamsi. Menurutnya, pada kondisi ini, setiap suara komunitas Muslim sangat penting dan bisa menjadi penentu, terutama karena persaingan antara Kamala Harris dan Donald Trump sangat ketat.
Ketika ditanya tentang opsi golput bagi Muslim Amerika, Ustaz Syamsi mengungkapkan bahwa golput tidak begitu umum di Amerika Serikat karena dianggap sebagai bentuk tidak adanya pengakuan dari negara. “Golput ada, tapi orang Amerika berbeda dengan negara-negara lain. Di sini, memilih adalah salah satu cara untuk mendapatkan rekognisi atau pengakuan,” ujarnya. “Kalau kita tidak memilih, kita seolah-olah tidak dianggap eksis. Oleh karenanya, komunitas Muslim harus memilih siapa pun yang mereka anggap lebih baik.”
Ustaz Syamsi menekankan bahwa dengan memilih, komunitas Muslim akan dihitung dalam kebijakan yang dibuat pemerintah dan bisa meminimalisir kemungkinan terburuk. “Kalau kita kembali ke syariah, maka jika tidak ada yang benar-benar memberikan manfaat, kita pilih yang paling sedikit mudaratnya. Dalam hal ini, Kamala Harris mungkin lebih aman dibandingkan dengan Donald Trump, terutama dari aspek domestik,” terangnya.
Ustaz Syamsi juga mendorong komunitas Muslim untuk aktif dalam proses demokrasi Amerika Serikat dan menekankan pentingnya suara mereka dalam pemilu. “Pilpres ini hanya pesta empat tahunan, tapi yang pasti adalah komunitas Muslim harus mengambil bagian dalam proses demokrasi ini,” ungkapnya.
Ia menutup dengan menyampaikan bahwa khutbah Jumat mendatang akan membahas pentingnya partisipasi komunitas Muslim dalam pilpres kali ini. “Saya ingin menekankan kepada saudara-saudara Muslim di sini bahwa meskipun pilihan ini dilematis, kita tetap harus ikut memilih agar kita diakui sebagai bagian integral yang berkontribusi nyata dalam kehidupan publik di Amerika Serikat.”
Pilpres kali ini, di tengah segala dilema yang ada, menjadi panggilan bagi komunitas Muslim Amerika untuk menggunakan hak suaranya. Menurut Ustaz Syamsi, ini bukan sekadar memilih pemimpin, tetapi juga membuktikan eksistensi Muslim sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Amerika.