Artikel Hidayatullah.com
“NAIK-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali,” begitulah gambaran perjalanan utang negara sejak merdeka yang naik terus tak pernah bisa turun. Kemerdekaan ditebus dengan warisan utang kolonial sebesar Rp 88 triliun. 31 tahun Presiden Soeharto berkuasa, utang negara melesat menjadi Rp 551 triliun. Krisis ekonomi dan gejolak politik masa Presiden BJ Habibie, menyebabkan utang negara naik 70 % menjadi Rp 939 triliun.
Hanya 1 tahun berkuasa, Presiden Gusdur mewariskan utang yang gemuk sebesar Rp 1.271 triliun. Naik lagi menjadi Rp. 1.298 triliun pada masa Presiden Megawati. Dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, utang negara naik 2 kali lipat menjadi Rp 2.608,8 triliun. Utang membengkak luar biasa gila terjadi dalam dua periode kepemimpinan Jokowi. Juli lalu negara menarik utang baru sebesar Rp 266,3 triliun. Angka ini melonjak sebesar 36 % dibandingkan tahun lalu. Per juli 2024, total utang negara mencapai Rp. 8.502,69 triliun mengalami kenaikan 325 %.
Gelagatnya Presiden Prabowo akan melanjutkan ‘proyek’ utang tersebut. Karena Prabowo berniat menambah utang untuk mewujudkan janji kampanyenya. Prabowo menegaskan tak mau ada penghalang yang membelenggu dirinya terkait utang. Artinya ke depan Prabowo setali tiga uang dengan presiden sebelumnya terkait kebijakan utang negara.
Pemerintah selalu mengklaim utang negara aman. Karena masih berada di bawah 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah berkilah tak hanya Indonesia yang berutang. Hampir 97 % negara di dunia mempunyai utang. Negara maju pun seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, Jepang doyan utang. Pemerintah ingin membangun infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas kebijakan fiskal untuk meningkatkan sumber daya manusia. Sedangkan pendapatan negara dari pajak dan non pajak tak memenuhi target. Pemerintah pun berdalih utang solusi rasional menutupi defisit anggaran tersebut.
Realitanya dalam 10 tahun terakhir, pembayaran bunga utang negara nyaris menembus 500 triliun/tahun. Dengan porsi pembayaran bunga utang dalam APBN menduduki posisi tertinggi. Artinya negara terpaksa berutang untuk membayar utang dan bunganya. Gali lubang tutup lubang. Efeknya ruang fiskal negara semakin sempit. Wajar pemenuhan kebutuhan rakyat sekarat dan kesejahteraan rakyat jauh panggang dari api. Alarm bahaya ekonomi negara sudah berbunyi. Makin ‘stres’ jika rupiah terdepresiasi karena utang dan bunganya semakin membengkak. Krisis keuangan diambang mata.
Tak hanya itu, utang luar negeri juga menjadikan negara tak aman dari sisi ekonomi dan politik. Sudah menjadi rahasia umum setiap utang no free lunch. Ada udang di balik batu. Dari sisi ekonomi, negara/lembaga kreditur (pemberi utang) mendapatkan keuntungan finansial besar dari sistem ribawi tersebut. Keuangan negara debitur (penerima utang) akan terkuras hanya untuk membayar utang dan bunganya. Utang dijadikan sarana mengeksploitasi kekayaan negara debitur. Negara debitur akan ‘termiskinkan’, tak mandiri dan tak mendapatkan apa-apa selain dari ketergantungan.
Acapkali negara/lembaga kreditur memberikan persyaratan tertentu sesuai kepentingan politik/ideologi mereka. Secara tak langsung utang menjadi senjata untuk memaksakan kepentingan politik atau ideologi pada negara debitur. Negara debitur pun hanya menjadi ‘pengekor’, lemah politik luar negerinya dan mudah ‘dikuasai’. Dari bahaya ini, utang negara menjadi haram karena menjadi sarana timbulnya berbagai kemudharatan pada kaum muslim. Jelas negara harus menghentikan utang luar negeri yang ribawi. Negara akan berusaha memperoleh pendapatan halal sesuai syari’at Islam.
Dalam Islam pendapatan negara diperoleh dari kepemilikan negara dan umum. Kepemilikan negara berupa harta fa’i, ghanimah, jizyah, kharaj, ‘usyur, khumus, rikaz dan zakat. Kepemilikan umum berupa air (laut, sungai, danau, rawa dan sebagainya); padang (termasuk isi perut bumi yang mengandung berbagai SDA) dan api (sumber energi panas bumi, gas, tenaga surya, api menyala dan sebagainya).
Syari’at Islam memberikan kekuasaan pada negara untuk mengelola harta kepemilikan umum dan negara. Diharamkan pengelolaannya diserahkan pada individu atau badan usaha (baik dalam negeri atau asing). Pengelolaan harta kepemilikan umum dan negara secara syar’i, dapat menjadikan negara tak tergantung pajak dan utang. Kesejahteraan rakyat pun menjadi niscaya. Begitu sempurna syari’at Islam mengatur perekonomian negara.***
Wallahu a’lam bish-shawab