Cibubur, Rasilnews – Chairil Gibran Ramadhan, atau akrab disapa CGR, lahir pada 11 September 1973 di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Ia menempuh pendidikan di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, mengambil jurusan Ilmu Jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi. Dikenal sebagai sastrawan dan peneliti budaya Betawi, CGR telah berkontribusi besar dalam memperkenalkan dan melestarikan warisan budaya Betawi melalui karya-karyanya yang tersebar di berbagai majalah dan surat kabar.
Sebagai seorang penulis, CGR menjadikan Betawi sebagai fokus utama dalam karya-karyanya. Ia menulis cerpen, puisi, dan catatan budaya yang menggambarkan kehidupan dan sejarah etnis Betawi. “Orang Betawi itu kan salah satu etnis yang lemah dalam pendokumentasian atau penulisan. Jadi karena saya bisanya menulis, ya sudah, saya fokus ke situ,” ungkapnya dalam acara Ahlan Wa Sahlan Radio Silaturahim dengan tema ‘Kongkoin Betawi’. CGR menyoroti betapa minimnya representasi Betawi dalam sastra dan media. Ia merasa terpanggil untuk mengisi kekosongan tersebut, terutama ketika menyadari bahwa tidak banyak yang menulis tentang Betawi di media besar seperti Kompas.
“Saya perhatikan, di Kompas Minggu itu tidak ada cerpen-cerpen yang bertema Betawi. Padahal Kompas terbitnya di Jakarta, di Betawi. Saya bilang, kok tidak ada yang menulis tentang itu? Akhirnya saya masuk ke situ,” katanya. Cerpennya kemudian mulai dimuat di Republika, berkat dukungan dari editor Ahmadul Yusuf Irwanda. Dari situlah kariernya sebagai penulis bertema Betawi mulai melesat, hingga karyanya dibukukan oleh penerbit Masup Jakarta tahun 2008, atas bantuan JJ Rizal. “Terima kasih buat JJ Rizal,” ucapnya penuh rasa syukur.
CGR kemudian melanjutkan perannya sebagai dokumentator budaya Betawi dengan mendirikan jurnal Stambul. “Tahun 1987-1990 itu, selama 4 tahun, pernah terbit jurnal Jali-Jali. Jali-Jali itu jurnal Betawi Sosio-Kultural Studies. Saya terinspirasi dari sana,” katanya. Dengan dukungan tokoh-tokoh terkemuka seperti Mona Lohanda, Yasmin, dan Abelhaer, CGR melahirkan Stambul sebagai wadah untuk mendokumentasikan kebudayaan Betawi yang semakin terpinggirkan.
Meski demikian, CGR mengakui bahwa mendokumentasikan budaya Betawi tidaklah mudah. “Menulis itu kan cukup makan waktu. Jadi, kita harus riset. Ada riset lapangan, ada riset pustaka, ada riset wawancara. Nggak bisa kalau kita nulis sejarah dan budaya tanpa riset yang mendalam,” ujarnya. Salah satu tantangan terbesar adalah sikap tertutup sebagian orang Betawi terhadap wawancara. “Orang Betawi itu susah dikorek informasinya. Mereka punya kecurigaan tinggi,” jelasnya, merujuk pada trauma sejarah penggusuran yang membuat masyarakat Betawi cenderung waspada terhadap peneliti.
Sikap ini membuat buku-buku tentang Betawi jarang ditemukan. CGR mengenang salah satu diskusi dengan dosen UI, Bonan Kanumuyoso, yang mengeluhkan sulitnya menemukan referensi tentang Betawi. Namun, CGR menemukan bahwa minimnya literatur bukan hanya karena orang Betawi jarang menulis, tetapi juga karena mereka cenderung menutup diri dari peneliti. “Mereka bisa bilang, ‘Ngapain sih itu ditanyain? Kalau sudah ditulis dan jadi buku, ya sudah,’” tuturnya.
Namun, CGR tetap sabar dan terus mencari cara untuk mendokumentasikan budaya Betawi. Ia menyebut bahwa keterbukaan orang Betawi bisa diraih melalui pendekatan informal. “Kalau kita datang langsung dan mengagetkan, mereka juga akan kaget. Jadi, kita perlu menahan-nahan dulu,” tambahnya, mengungkapkan pentingnya pendekatan yang halus dan tidak terlalu formal.
Keberagaman budaya Betawi juga menjadi perhatian CGR. Ia menegaskan bahwa Betawi bukanlah satu kesatuan yang seragam. “Betawi itu macam-macam. Ada Betawi Kota, ada Betawi Depok, ada Betawi Pinggir, macam-macam. Dari sisi bahasa, dari sisi tradisi,” jelasnya. Ia memberikan contoh perbedaan tradisi antara berbagai daerah di Jakarta dan sekitarnya, seperti Pondok Pinang dan Condet. “Di Pondok Pinang, kita tidak mengenal yang namanya Gambang Rombeng, karena kita lebih ke yang islami, seperti di Condet ada kasidahan,” ungkapnya.
Penulis yang fokus pada Betawi ini juga menyayangkan penggambaran Betawi di media yang sering kali keliru. “Di TV itu yang ditampilkan kan yang selalu pakai E. Jadi, terkesan Betawi itu asal E, padahal nggak juga,” katanya.
Bagi CGR, menjadi penulis adalah panggilan pribadi. “Menulis itu kan harus dari keinginan pribadi. Gak bisa dipaksa,” tegasnya. Menurutnya, kebanggaan terhadap etnis dan budaya harus muncul dari dalam diri seorang penulis, bukan sekadar paksaan eksternal. “Kita punya kebanggaan terhadap etnis kita, kita punya kebanggaan terhadap Betawi,”ujarnya.
Di tengah segala tantangan yang dihadapi, CGR terus berkarya dan berusaha menjaga warisan budaya Betawi melalui tulisan. Dengan kesabaran dan ketekunan, ia membuktikan bahwa dokumentasi budaya bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi sangat berharga.