Tajuk Rasil
Jumat, 17 Jumadil Awwal 1445 H/ 1 Desember 2023
Mempertahankan integritas bukan perkara mudah, apalagi jika godaan korupsi muncul di depan mata. Butuh keteguhan hati untuk memegang nilai-nilai integritas agar godaan bisa ditepis. Para tokoh bangsa sudah membuktikannya, bahwa korupsi harus dilawan mulai dari diri sendiri. Kisah-kisah soal kejujuran para tokoh bangsa ini layak menjadi teladan bagi masyarakat Indonesia agar tetap semangat melawan korupsi. Cerita-cerita mereka juga menjadi bukti bahwa korupsi tidak pernah mendapat tempat dalam sejarah. Korupsi, tidak akan pernah menjadi budaya di negeri ini.
Para tokoh ini telah menerapkan nilai-nilai integritas dalam pekerjaan dan kesehariannya. Kita mengenal beberapa kisah para tokoh bangsa mulai dari KH. Agus Salim dengan cerita kesederhanaannya, Mohammad Natsir dengan cerita tambalan bajunya, Mohammad Hatta dengan cerita mesin jahit istrinya, sampai cerita Hoegeng Iman Santoso yang menutup toko kembangnya. Ternyata ada satu cerita nyata pejabat lainnya yang memiliki integritas tinggi dan sangat layak untuk diteladani oleh para pejabat negeri ini.
Namanya Baharuddin Lopa, kelahiran Mandar, Sulawesi Selatan. Ketika mengingat sosok yang tenar di era awal reformasi ini tidak lepas dari upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Karier Baharuddin Lopa cemerlang, pernah menjabat Bupati Majene saat usia 25 tahun. Dia kemudian menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Ternate pada 1964. Dua tahun kemudian, Lopa menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh hingga pindah ke Kalimantan Barat pada 1974. Berikutnya, ia menjabat Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung RI (1976–1982), dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (1982–1986). Lopa akhirnya menjadi Jaksa Agung RI sekaligus Menteri Kehakiman dan Perundang-undangan pada 2001.
Walau hanya sebulan menjabat Jaksa Agung, Lopa sudah membuat para koruptor ketar-ketir lantaran sifatnya yang tak kenal takut. Dia segera memerintahkan pulang Sjamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu yang sedang dirawat di Jepang dan Singapura untuk diselidiki atas kasus korupsi. Dia juga turut menghadapi kasus yang melibatkan “orang-orang kuat”, seperti Akbar Tanjung, Arifin Panigoro, dan Ginanjar Kartasasmita. Lopa juga berani mengusut kasus yang melibatkan mantan Presiden Soeharto.
Salah satu kisah kecil soal integritas Barlop berkaitan dengan mobil dinasnya. Suatu ketika, sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Lopa mengadakan kunjungan ke sebuah kabupaten di wilayah kerjanya. Dalam perjalanan pulang, Lopa tiba-tiba menyuruh ajudannya menghentikan mobil. Lopa bertanya kepada sang ajudan, “Siapa yang mengisi bensin?” Si ajudan pun dengan jujur menjawab, “Pak Jaksa, Pak!” Mendengar itu, Lopa menyuruh ajudannya memutar mobil, kembali ke kantor sang jaksa yang mengisikan bensin ke mobil itu. Tiba di sana, Lopa meminta sang jaksa menyedot kembali bensin sesuai dengan jumlah yang diisikannya.
Lalu ada cerita tawar-menawar yang aneh antara Lopa dengan Jusuf Kalla. Salah satu ciri khas Lopa yang banyak diingat adalah mobil dinas resminya berupa Toyota Kijang tua. Pada suatu ketika, Lopa ingin membeli mobil baru dan meminta bantuan Jusuf Kalla (JK) yang ketika itu menjadi agen tunggal Toyota di kawasan Timur Indonesia. JK lantas menawarinya Toyota Crown seharga Rp100 juta, tunggangan yang sepadan dengan pejabat sekelas Lopa. “Mahal sekali, ada yang murah?” jawaban Lopa ini membuat JK terkejut. JK kemudian menawarinya Toyota Cressida dengan harga Rp60 juta, itu pun masih ditolak Lopa karena kemahalan.
Akhirnya JK malah ingin menghadiahi Lopa sebuah sedan Corona seharga Rp30 juta. “Tidak usah bicara harga, Bapak kan perlu mobil. Jangan khawatir, saya tidak ada hubungan bisnis dengan lembaga pemasyarakatan. Saya kirim mobil itu besok ke Jakarta,” kata JK. Lopa masih juga menolak, bahkan dia menaikkan harganya. Sementara JK sebagai penjual, malah menurunkan harganya hingga Rp5 juta saja. Sebuah tawar menawar aneh yang tidak akan ditemui di mana pun. Akhirnya, JK menyerah dan sepakat menjual mobil itu Rp25 juta kepada Lopa dengan cara dikredit.
Adegan di atas menunjukkan bahwa Lopa sangat anti dengan pemberian atau gratifikasi. Pernah suatu kali, pengusaha kenalannya menitipkan amplop tebal berisi 10 ribu USD untuk membantu perekonomian Lopa. Pengusaha itu tidak tersangkut kasus apa-apa, pemberian tersebut murni hanya ingin membantu. Namun, Lopa menolaknya mentah-mentah.
Baharuddin Lopa meninggal pada 2001 dalam perjalanan dinas ke Arab Saudi. Kematiannya meninggalkan duka mendalam bagi Indonesia. Lopa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 6 Juli 2001 dengan upacara pemakaman kenegaraan. Rakyat Indonesia tentu mendoakan Baharuddin Lopa agar semua amal ibadahnya diterima Yang Maha Kuasa. Namun doa lainnya yang juga harus dipanjatkan adalah semoga ada lebih banyak lagi sosok-sosok berintegritas seperti Lopa di bumi Indonesia ini.
Wallāhu ‘Alam bis-shawāb