Jakarta, Rasilnews – Pada pembukaan Bulan Solidaritas Palestina (BSP) yang akan berlangsung di awal bulan November mendatang, Aqsa Working Group (AWG) selaku inisiator acara akan meluncurkan buku berjudul “Hubungan Indonesia dan Palestina.”
Rencananya, acara pembukaan BSP tahun ini dilaksanakan di Institut Tazkia, Bogor pada Senin, 4 November 2024.
Duta Al-Quds Internasional, Ustaz Ali Farkhan Tsani sebagai salah satu penulis buku tersebut mengatakan, ini merupakan buku trilogi ketiga dari dua buku sebelumnya yang telah terbit, yaitu “Masjidil Aqsa Tanggung Jawab Umat Islam” dan “Bumi Palestina Milik Bangsa Palestina.”
Selain Ali Farkhan atau yang akrab disapa Ustaz Afta, ketiga buku tersebut merupakan kolaborasi antara ia dan Pembina Utama AWG, Imaam Yakhsyallah Mansur. Keduanya merupakan alumni pelatihan tentang Baitul Maqdis di Yaman.
“Alhamdulillah saya dan Imaam sebagai alumni pelatihan tentang Al-Quds di Yaman, menulis trilogi buku untuk menyuarakan Palestina seara lebih luas dan terstruktur dalam buku. Buku pertama lebih menyoroti Masjid Al-Aqsa sejak zaman Nabi Adam, sampai pada perhatian Rasulullah terhadap Masjid Al-Aqsa. Ini menjadi tanggung jawab umat Islam. Maka judulnya, Masjidil Aqsa Tanggung Jawab Umat Islam. Buku kedua menyoroti Tanah Palestina, dengan judul Bumi Palestina Milik Bangsa Palestina, orang-orang Zionis tidak punya hak sedikit pun dari sisi sejarah bahkan dari kitab mereka sendiri mengatakan demikian,” jelasnya dalam siaran di kanal YouTube Al-Jamaah TV pada Rabu (30/10) malam.
Sementara buku ketiga ini, sambungnya, akan menjabarkan hubungan Indonesia dan Palestina yang sudah terjalin sejak dahulu kala, bahkan dari abad ke 15.
“Kemudian yang ketiga, lebih unik lagi insya Allah akan launching di pembukaan BSP 2024. Di situ memuat bagaimana hubungan Indonesia dengan Palestina. Kalau kita bicara Indonesia Palestina saat ini atau Masjid Al-Aqsa saat ini, itu bukanlah hal yang baru. Indonesia sejak abad ke 15, sejak kerajaan Aceh, kerajaan Demak itu sudadh menjalin hubungan. Ulama Palestina mengirimkan (pasukan dari) Turki Utsmani waktu itu, itu mengirim pasukan untuk membantu kerjajaan Aceh melawan Portugis.,” ujar Afta.
“Kerajaan Aceh lalu membangun akademi militer Baitul Maqdis yang kemudian lahirlah tokoh-tokoh di antaranya Laksamana Malahayati, laksamana pertama di kalangan muslimat dan berhasil mengusir penjajah. Bahkan ada warga Aceh sendiri yang baru tahu maka harus kita sebarkan,” tambahnya.
Wartawan senior Kantor Berita MINA itu berharap, buku “Hubungan Indonesia dan Palestina” dapat menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki utang sejarah kepada Palestina. Selayaknya utang, maka harus dibayar.
“Buku ini kita ingin menyentuh terutama pemerintah agar terus dan bahkan semakin meningkatkan dukungan untuk Palestina. Kedua, kita punya utang sejarah yaitu Palestina yang pertama kali mengakui kemerdekaan kita jadi sekarang kita harus membayar,” tutur Afta.
Lebih lanjut, Afta menyampaikan, peluncuran buku tersebut juga berkaitan dengan tema utama pada BSP2024 ini yaitu “Urgensi Literasi dan Edukasi untuk Pembebasan Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa” dengan slogan “Liberation of Mind before Liberatif of Land.”
“Literasi menjadi sangat penting, Indonesia dengan 280 juta penduduk tapi dari 280 juta orang, katakanlah 260 jutanya adalah umat Islam, berapa persen yang mengetahui, memahami tentang Baitul Maqdis, tentang A-Aqsa. Faktanya masih sangat minim. 10 persen saja dari 270 juta kan 70 juta orang, kalau mereka punya literasi yang kuat maka pembelaan itu akan sangat kuat,” ucapnya.
Afta kemudian mengambil contoh terkait pelatihan Baitul Maqdis di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) pada Agustus lalu.
“Contohnya ada pelatihan di Saladdin Camp di Yogja, itu karena ada beberapa pengusaha yang melek literasi tentang Baitul Maqdis sehingga sebagian pembiayaan itu ditanggung oleh pengusaha karena pikirannya sudah nyambung. Ini baru contoh kecil. Bagaimana kalau seluruh Indonesia, terutama umat Islam benar-benar paham soal ini. Literasi menjadi sangat penting karena itu menjadi faktor penentu. Liberation of mind before liberation of land,” pungkasnya.***