Bekasi, Rasilnews – Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) kini tengah diserang dugaan penyelewengan dana donasi oleh para petingginya. Pengamat Politik, Tony Rosyid menilai, penyelewengan tersebut belum tentu benar terjadi.
Pasalnya, menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Keputusan Menteri Agama, alokasi dana untuk operasional organisasi NGO maksimal 20 persen dari jumlah dana infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya yang tergalang dalam satu tahun.
Sebelumnya, Presiden ACT lbnu Khajar mengatakan bahwa menggunakan rata-rata 13,7 persen dari dana hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai dana operasional yayasan. Angka 13,7 persen tersebut tidak sesuai dengan ketentuan batasan maksimal 10 persen yang tertuang di dalam Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980.
“Tetapi di sisi lain, kita lihat bahwa MUI sendiri menentukan pungutan dalam sedekah itu maksimal 20 persen itu putusan MUI tahun 2020, terus putusan Menag nomor 606 tahun 2020 maksimal 20 persen. Tapi kok kenapa ada pertentangan,” ujar Tony dalam wawancara eksklusif Topik Berita Radio Silaturahim 720 AM, Rabu (6/7).
Menurut Tony, polemik di ACT adalah karena adanya perbedaan antara profesionalisme dan keikhlasan dalam menjalankan lembaga filantropi tersebut. Ia menyebut, dalam ketentuan agama pun badan yang mengelola zakat seperti Baznas memiliki hak 12 persen dari dana zakat yang dikumpulkan.
“Mengacu dari ini kenapa baru sekarang, kita khawatirkan bahwa NGO yang berbasis Islam seperti Baznas yang memiliki hak 12 persen dalam ketentuan agama untuk amil zakat, tetapi karena mereka punya spirit juang, spirit sosial, spirit keagamaan yang tinggi mereka tidak mengambil sebagai hak, mereka ambil untuk operasional dan untuk hak amil hanya sedikit karena mereka hidup dengan sederhana. Inilah yang menjadi polemik di ACT antara profesionalisme –dalam hal ini gaji– dan keikhlasan,” jelas Tony.
Terkait profesionalisme, sambung Tony, memang tidak boleh berlindung pada narasi keikhlasan. Artinya sebuah lembaga yang ingin maju dan memberikan pelayanan yang lebih besar, perlu sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang baik sehingga harus diberikan timbal balik sesuai kinerja mereka di yayasan sosial itu.
“Jika berbasis keikhlasan dan tidak memberikan timbal balik secara profesional, padahal mereka orang yang bisa menjadi dirut, manajer di perusahaan besar dengan gaji yang bisa menghidupi keluarganya dengan sangat layak, hanya karena mereka memiliki rasa sosial sehingga mereka bergabung dengan NGO-NGO berbasis kepada Islam, terus digaji dengan pas pasan, bahkan kekurangan,” ujarnya.
Tony mengaku mendapat kabar dari temannya, bahwa Pendiri dan mantan Presiden ACT, Ahyudin meminjam uang kepada temannya itu karena kekurangan dari segi finansial.
“Saya bahkan dengar, Ahyudin untuk saat ini, karena semalem selesai dari TV One ada temannya Ahyudin telpon saya yang juga teman saya, Ahyudin pinjam uang ke teman saya itu karena memang dalam keadaan kekurangan secara finansial, ini kan jadi sebuah keprihatinan,” ucapnya.
Ia mengatakan, para petinggi di yayasan ACT yang mendapatkan fasilitas itu hanya untuk bekerja bukan sebagai milik pribadi sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Orang-orang yang sudah berkiprah selama bertahun-tahun untuk lembaga sosial seperti ACT dan Baznas dengan pengalaman dan skill yang luar biasa memang layak diberikan fasilitas yang memadai untuk bekerja.
“Ada tokoh-tokoh kita yang bicara asal, ngawur, wah itu menikmati dana orang miskin, dana untuk korban bencana tapi dipakai untuk foya-foya. Saya pikir ini ungkapan yang tidak berdasar pada historikal dan fakta-fakta yang profesional,” jelas Tony.