Jakarta, Rasilnews – Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menilai upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah.
“Tantangan dalam pengendalian tembakau di Indonesia ini sangat berat, termasuk paradigma masyarakat yang secara logis menganggap tembakau sebagai produk normal, padahal itu produk abnormal. Di Singapura, masyarakatnya menganggap rokok itu sebagai sebuah penyakit,” ujarnya.
Tulus juga mengungkapkan, “Musuh pengendalian tembakau banyak, termasuk pemerintah dan DPR sendiri.”
Untuk itu, lanjut Tulus, perlu keterlibatan semua pihak dalam mendorong pemerintah untuk melakukan penguatan pengendalian tembakau, baik dari berbagai kebijakannya ke depan.
Dia juga menyoroti soal iklan rokok di internet yang belum ada regulasinya. Tulus mendukung pelarangan total iklan dan promosi rokok sebagai salah satu arah kebijakan pembangunan nasional. “Mudah-mudahan di PP kesehatan yang baru, iklan rokok di internet akan dilarang kalo tidak diitervensi lagi,” pungkasnya.
Praktisi media Maria Hartiningsih mengatakan, diperlukan penelitian dan pengkajian lebih dalam soal fenomena tembakau iris atau merokok dengan melinting rokok sendiri, atau lebih populer sebagai Tingwe atau nglinthing dhewe (melinting sendiri-bahasa Jawa), semakin marak belakangan ini.
“Selain itu, fenomena saat ini semakin mudah kita menemui anak muda yang menggunakan rokok elektrik atau Vape harus menjadi perhatian kita,” ujarnya.
Sebagaimana diketahu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini mendesak negara-negara di dunia untuk menerbitkan aturan yang melarang rokok elektrik atau vape aneka rasa. Seruan WHO tersebut berdasarkan sejumlah penelitian bahwa tidak menemukan bukti bahwa rokok elektrik bisa menjadi alternatif lebih sehat dari rokok tembakau.
Selain itu, WHO juga menyoroti peredaran vape di pasar terbuka dan dijual secara masif kepada generasi muda dengan menyinggung 34 negara yang telah melarang penjualan rokok elektronik, 88 negara yang tidak menetapkan usia minimum untuk pembelian rokok elektrik, dan 74 negara yang tidak memiliki aturan terkait produk-produk tersebut.
Sementara itu, Tien Sapartinah meminta agar negara bertanggung jawab dalam pengendalian tembakau. “Jadi pemerintah tidak boleh lepas tangggung jawab terhadap isu pengendalian tembakau ini,” katanya.
Dia juga mengharapkan pemimpin yang akan datang berkomitmen dalam penguatan pengendalian tembakau didasarkan pada keberpihakan kepada masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmad Fanani menyampaikan, hasil pendalaman yang dipublikasikan dalam “Outlook Industri Tembakau 2024” sebagai bentuk nyata dalam memberikan bahan kajian terbaru dalam isu pengendalian tembakau.
“Diharapkan hasil kajian dan pendalaman ini memberikan juga argumentasi baru secara objektif dan menjadi alasan kuat bagi penguatan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia,” katanya.
Dalam hasil diskusi publik tersebut, juga disimpulkan adanya desakan kuat kepada pemerintah akan mutlak perlunya aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana untuk sekian lama pemerintah telah tunduk kepada intervensi industri yang selalu memertentangkan antara kehidupan petani dan pekerja industri sebagai bumper kepentingan industri.
FCTC memungkinkan perlindungan bagi kesehatan masyarakat, melalui pengendalian permintaan, harga dan cukai, kemasan dan pelabelan, iklan atau promosi dan sponsor rokok, serta perlindungan dari asap. Selain pengendalian permintaan, perlu juga dilakukan pengendalian penawaran, termasuk upaya melarang penjualan rokok pada anak di bawah umur.