Cibubur, Rasilnews – Proses Pemilihan Presiden 2024 di Indonesia semakin menjadi sorotan dunia Internasional dengan sejumlah kontroversi yang mencuat. Imam Syamsi Ali, Lc., MA., Ph.D seorang warga Indonesia yang berdomisili di Amerika, menyampaikan pandangannya bahwa pemilu kali ini mungkin menjadi yang terburuk dalam sejarah, “Apa yang terjadi saat ini adalah proses pemilu terburuk dalam sejarah pilpres atau pemilu yang terjadi di Indonesia,” ujarnya dalam Dialog Topik Berita di radio Silaturahim, Kamis (25/01).
Dirinya menyoroti berbagai isu krusial, termasuk keterlibatan kekuasaan incumbent, manipulasi hukum, dan nepotisme. Terkait keterlibatan incumbent, penulis menilai bahwa presiden seharusnya tidak memihak dan bertanggung jawab secara etika serta moral, namun terlihat adanya dukungan yang tidak netral terhadap salah satu calon presiden.
“Apa yang saya sampaikan dalam tulisan saya adalah fakta yang terjadi dilapangan tentang keterlibatan kekuasaan incumbent, dimana penguasa yang terlibat dalam proses pemilu itu sudah salah, karena presiden atau penguasa seharusnya untuk negara dan tidak boleh memihak apalagi ada UU dan aturannya terlebih ada tanggung jawab etika dan moral melalui sumpah bahwa presiden akan melayani semua rakyat secara fair dan tidak memihak,” ungkapnya.
Selain itu, manipulasi hukum juga disoroti, dengan perubahan aturan melalui Mahkamah Konstitusi yang menuai kritik. Perubahan tersebut, seperti penurunan batasan usia calon presiden, dianggap sebagai bagian dari proses nepotisme, di mana keluarga dekat dan kerabat terlibat dalam pemilihan.
“Kemudian terjadi manipulasi- manipulasi hukum yang luar biasa dimana UU dirubah melalui MK dari umur 40 tahun menjadi boleh dibawah 40 tahun dan itu ada tergetnya dan ternyata itu adalah bagian dari proses nepotisme yang terjadi antara ayah, anak, adik ipar, paman yang kemudian di cawapreskan,” ujar Direktur Jamaica Muslim Center ini.
Tidak hanya itu, Imam di Islamic Center of New York ini juga menyinggung keberpihakan penguasa, termasuk penggunaan fasilitas negara, seperti bantuan sosial, yang disinyalir dimanfaatkan untuk mendukung salah satu calon presiden. Pemimpin partai yang seharusnya memiliki integritas juga disorot karena tunduk kepada seorang anak yang diangkat sebagai calon wakil presiden.
“Kita juga melihat bagaimana saat ini partai politik dan pemimpin partai yang sebenarnya punya kehormatan ternyata kehormatan itu tidak bisa terjaga dan tunduk kepada seorang anak yang diangkat sebagai cawapres, dan bagi orang yang berakal ini tidak bisa diterima dengan akal sehat,” terangnya.
Terakhir, Imam Syamsi Ali juga menyoroti bagaimana dukungan oligarki dalam hal pendanaan kampanye turut menjadi fokus. Tidak adanya aturan yang jelas mengenai pendanaan kampanye memunculkan kritik terhadap penggunaan kekayaan pribadi oleh beberapa pihak, merongrong demokrasi yang seharusnya bersifat adil.
“Belum lagi kalau kita berbicara tentang dukungan Oligarki yang tidak ada aturannya teruatama dalam hal pendanaan kampanye sehingga seenaknya saja dan ini yang membuat runyam dan merusak demokrasi,” tandasnya.
Dialog topik berita Radio Silaturahim ini akhirnya mengajak para pendengarnya untuk mencerna bagaimana peristiwa yang terjadi saat ini menciptakan bayang-bayang atas proses demokrasi Indonesia, memicu pertanyaan serius tentang integritas dan transparansi dalam menjalankan pemilu. Masyarakat pun menantikan bagaimana pihak pihak yang terkait akan menanggapi dan menangani polemik ini untuk menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi di Tanah Air.