Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
DALAM acara temu kader Gerindra, di atas podium Prabowo bilang: “etik…etik…etik…ndasmu etik.” Langsung disambut riang gembira oleh para kader. Bagi orang Jawa, baik Jawa Timur maupun Jawa Tengah, kata “ndasmu” itu punya dua konotasi. Konotasi candaan, dan konotasi umpatan kemarahan. Konotasi candaan, jika itu diungkapkan kepada kawan akrab dalam kelakar. Biasanya sambil ketawa ngakak. Mirip kata “juancuk” di Jawa Timur. Biasa diucapkan untuk candaan kepada teman akrab. Kalau ditujukan kepada orang lain, itu bukan candaan, tapi cacian. Mudah membedakannya.
“Ndasmu” dalam pidato Prabowo itu adalah reaksi dari hasil debat capres (12 desember) lalu. Jauh dari arti candaan. Kata “Ndasmu” adalah ekspresi kemarahan Prabowo kepada Anies Baswedan, karena merasa ditelanjangi di acara debat capres. Prabowo sangat kecewa, karena Anies Baswedan, sosok yang pernah diusung di pilgub DKI Jakarta dan digadang-gadang menjadi cawapresnya, justru tampil sebagai rival di pilpres. Lebih marah lagi, ketika dalam debat capres, Anies dianggap memojokkan Prabowo dengan sejumlah pertanyaan.
Kalau mau fair, sebenarnya Prabowo juga menyerang dan memojokkan Anies dengan bertanya soal polusi udara DKI. Apalagi, beberapa kali Prabowo juga ungkit pilgub DKI dimana Prabowo yang mengusung Anies. Any way, bukankah saling serang dan saling mematahkan argumentasi dalam debat, itu hal biasa? Itu adalah sesuatu yang natural di arena debat. Mestinya, tidak ada yang merasa diserang dan dipojokkan. Kalau ada capres, siapa pun itu, merasa dipojokkan dan diserang oleh lawan debat, ini menunjukkan bahwa ia belum dewasa dalam demokrasi. Apalagi, kalau kemudian membawa materi debat ke luar arena. Ini menunjukkan secara mental ia memang tidak siap.
Blunder! Secara politik, ini blunder. Kata “Ndasmu” itu kata-kata sangat kasar. Di kepala masyarakat Jawa, itu kasar sekali. Sangat tidak pantas untuk diungkapkan. Apalagi yang mengungkapkan adalah calon presiden, calon pemimpin bangsa. Pidato Prabowo terkait dengan kata “Ndasmu” menunjukkan dua hal.
Pertama, Prabowo membawa materi debat ke luar arena. Adu argumen, mestinya selesai di ruang debat. Kecuali jika ada media yang bertanya. Itu pun harus dijawab dengan diplomatis. Tidak dijadikan kesempatan untuk menyerang balik lawan debat di luar arena. Mestinya, tahan dulu. Tunggu jadwal debat berikutnya. Masih ada beberapa jadwal debat lagi. Di situ, Prabowo bisa mempersiapkan diri lebih matang.
Bayangkan ketika seorang petinju bernama Wilder kalah dengan Tyson Fury. Dua pertandingan KO, lalu ngajak ribut di luar arena tinju. Kan gak asik. Dunia tinju akan gaduh. Jika itu terjadi, maka tidak ada lagi sportifitas dalam dunia tinju. Mike Tyson dikenal emosional. Ketika ia kalah dari Hollyfield, Lennox Lewis dan James Buster Douglas. Mike Tyson mengakui dan tidak menyerang balik di luar arena. Ini sportifitas. Dalam pertandingan, tidak hanya tinju, mesti sportif. Pertandingan apapun, ada arenanya. Tidak liar bermain di luar arena.
Kedua, untuk menjadi pemimpin, apalagi pemimpin negara besar seperti Indonesia yang menganut sistem demokrasi, perlu emosi yang stabil dari seorang pemimpin. Pressure rakyat yang akan dihadapi oleh presiden jauh lebih besar dan kuat dari sekedar pertanyaan dan serangan lawan debat. Kalau menghadapi pertanyaan lawan debat saja tidak siap, bagaimana menghadapi kritik tajam mahasiswa dan cacian para oposan? “Tidak terbang dalam pujian, dan tidak tumbang dalam cacian.” Ini yang harus dijadikan sebagai salah satu prinsip dalam leadership. Stabilitas mental sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Tanpa memiliki stabilitas mental dan emosi, ini akan sangat berbahaya bagi seorang presiden. Sebab, presiden punya instrumen negara yang bisa dengan mudah melayani kepentingan emosinya.
Dalam debat perdana, Prabowo terlihat sangat emosinal. Seolah ini mengonfirmasi persepsi publik selama ini bahwa Prabowo adalah sosok yang sangat emosional. Persepsi ini semakin kuat ketika Prabowo mengumbar kata-kata yang tidak sepatutnya diucapkan pasca debat. Yaitu kata “Ndasmu”. Pidato Prabowo ini blunder. Secara politik, ini dapat menggerus simpati publik. Jubir Prabowo akan kesulitan untuk menjelaskan kata “Ndasmu” sebagai konotasi guyonan. Sangat sulit. Tapi nampaknya akan terus dipaksakan untuk mengklarifikasinya. Upaya yang dilakukan oleh para jubir untuk membenarkan dan memberi dukungan terhadap pidato Prabowo akan justru menambah blunder yang semakin besar.
Ini sekaligus menunjukkan kegagalan timses Prabowo dalam mengemas performance dan komunikasi politik Prabowo. Sangat tidak mudah untuk mengelola seorang jenderal seperti Prabowo. Terlalu senior dan cenderung berjalan sesuai dengan maunya, bukan mau timsesnya. Inilah yang justru akan menciptakan blunder politik. Sesuai prediksi para analis, Prabowo dengan karakter dan rekam jejak politiknya, adalah tokoh yang paling sering membuat blunder.
Setelah kata “Ndasmu” yang menyulitkan timsesnya untuk menjelaskan dan klarifikasi, apalagi blunder yang kemungkinan akan dibuat Prabowo betikutnya. Ini pertanyaan berbasis pada karakter emosional dan spontan yang dimiliki Prabowo. Lalu, bagaimana timsesnya mengantisipasinya? Kita akan lihat ke depan, apa yang akan terjadi.
Wallāhu ‘Alam bis-shawāb