Tajuk Rasil
Kamis, 16 Jumadil Awwal 1445 H/ 30 November 20
Oleh: Imam Shamsi Ali
Ada satu hal yang menarik dari capres Prabowo Subiyanto ketika berbicara tentang visi misi dan program kepemimpinannya jika kelak terpilih menjadi Presiden Indonesia. Satu di antara janji program itu adalah memberi makan siang kepada anak-anak Indonesia. Janji makan siang ini erat hubungannya dengan meningginya “stunting” atau kekurangan gizi di kalangan anak-anak Indonesia selama ini.
Selain stunting atau kekurangan gizi, menurut laporan juga terjadi penurunan IQ atau kepintaran anak-anak dan bangsa secara menyeluruh. Sehingga menurut Capres Prabowo, anak-anak perlu makanan yang bergizi. Satu contoh yang pernah diberikan adalah peningkatan kepintaran anak-anak di sebuah daerah karena anak-anak itu mengkonsumsi telur dua kali seminggu.
Saya menilai pandangan seperti ini sangat sempit dan parsial dalam melihat permasalahan bangsa. Sekaligus menggambarkan wawasan instan (instant mindset) dari orang yang ingin menyelesaikan permasalahan bangsa ini. Saya mengilustrasikannya dengan seorang dokter yang menangani pasien yang sedang mengeluhkan sakit kepala yang kronis. Sang dokter hanya memberinya preskripsi obat sakit kepala semacam panadol. Padahal sakit kepala yang dialami oleh pasien itu disebabkan oleh pendarahan di otak karena sel kanker yang mulai merambah ke seluruh otaknya.
Terjadinya stunting dan kekurangan gizi serta penurunan IQ bangsa seharusnya tidak sekedar dilihat pada makan siang atau tidak makannya anak-anak di sekolah dengan menu telur. Sesungguhnya stunting atau kekurangan gizi maupun menurunnya kwalitas berpikir (otak) anak-anak dan bangsa secara umum merupakan gejala beberapa masalah yang lebih mendasar.
Stunting atau malnutrisi dan menurunnya kwalitas IQ menunjukkan bahwa kwalitas hidup masyarakat, khususnya keluarga-keluarga, mengalami erosi yang dalam. Keluarga-keluarga yang hidupnya secara berkwalitas semakin merosot itu diakibatkan oleh harga bahan-bahan makanan pokok yang semakin mahal. Sementara daya beli masyarakat semakin lemah. Sehingga masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan primer (khususnya makanan 4 sehat 5 sempurna).
Hal itu sekaligus menunjukkan jika masyarakat mengalami kemiskinan yang semakin meninggi. Walaupun berbagai data ekonomi yang disampaikan selama ini seolah perekonomian meninggi, semua itu tidak bisa menutupi realita meningginya kemiskinan di masyarakat. Bahkan sekalipun berbagai kalkulasi tentang pendapatan negara dilaporkan mengalami peningkatan secara signifikan.
Di balik dari semua fenomena tersebut ada lagi hal yang lebih mendasar yang perlu dicermati oleh semua pihak. Jika kita mengikuti hiruk pikuk pelaporan perekonomian pemerintahan yang nampak seolah pertumbuhan ekonomi baik-baik saja, kita boleh saja tertipu. Di tengah maraknya berita meruginya banyak perusahaan negara, secara paradoks kita juga disuguhi laporan-laporan BUMN yang menurut kalkulasi matematika mengalami peningkatan pendapatan (profited).
Semua fenomena yang membingungkan ini sekaligus mengekspos sesuatu yang lebih mendasar lagi. Bahwa diakui atau tidak, disadari atau tidak, arah pembangunan negara memang sedang melenceng dari cita-cita kemerdekaan. Pembangunan negara saat ini gagal memenuhi janjinya. Karena pembangunan dan kemajuan hanya diperuntukkan untuk sebagian, bahkan segelintir rakyat Indonesia.
Di sinilah kita semakin yakin bahwa agenda perubahan yang diusung oleh pasangan Anies-Muhaimin (Amin) semakin relevan. Dari semua agenda perubahan itu, hal yang paling mendasar adalah melakukan reorientasi pembangunan dari “capitalistic oriented” kepada pendekatan yang imbang. Hal yang biasa diekspresikan oleh Anies dengan “membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar”.
Dan itulah sesungguhnya amanah dan janji terpenting dari kemerdekaan. Hal yang ditegaskan dalam pembukaan UUD: “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Wallāhu ‘Alam bis-shawāb