Artikel Republika 6 Agustus 2006, oleh Alwi Shahab (wartawan Republika sepanjang zaman, Wafat pada 2020)
DENGAN judul “Sahabat Akrab”, foto Reuters yang dimuat sejumlah harian di Ibu Kota pekan lalu memperlihatkan Menlu Amerika Serikat Condoleeza Rice berjabatan tangan dengan Perdana Menteri Israel Ehud Omert di Yerusalem. Keduanya tertawa-tawa, seolah-olah puas karena pasukan Israel berhasil melakukan pembunuhan massal terhadap rakyat Lebanon dan Palestina –kebanyakan di antaranya wanita dan anak-anak–.
Israel yang mendapat dukungan Amerika Serikat juga mempergunakan senjata pemusnah massal yang dinyatakan terlarang oleh konvensi Jenewa. Sementara, pakar hukum dari sebuah universitas ternama di Amerika Serikat tidak menyebutkan serangan Israel itu sebagai kejahatan perang. Itulah sikap negara imperialis yang mengklaim kampiun hak asasi manusia. HAM memang milik mereka, bukan milik kita. Sementara PBB tidak berdaya melihat kekejaman di luar perikemanusiaan itu. Dulu Bung Karno pernah menyatakan bahwa PBB nyata-nyata menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab. Pernyataan itu dikemukakan saat Indonesia keluar dari organisasi dunia tersebut.
Konon, warga Yahudi sudah sejak kolonial Belanda banyak berdiam di Indonesia, khususnya di Jakarta. Pada abad ke-19 dan 20 serta menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Rijswijk (Jl Veteran) — dua kawasan elite di Batavia kala itu–. Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kacamata dan berbagai komoditas lainnya.
Sejumlah manula yang diwawancarai menyatakan, pada tahun 1930-an dan 1940-an jumlah warga Yahudi di Jakarta banyak. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab. Sedangkan Abdullah Alatas mengatakan, keturunan Yahudi di Indonesia kala itu banyak yang datang dari negara Arab. Maklum kala itu negara Israel belum terbentuk. Seperti keluarga Musri dan Meyer yang datang dari Irak.
Di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkenborgh Stachouwer (1936-1942). Sedangkan Ali Shatrie menyatakan bahwa kaum Yahudi di Indonesia memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya. Dulu Surabaya juga merupakan kota yang menjadi basis komunitas Yahudi, lengkap dengan sinagognya yang hingga kini masih berdiri. Mereka umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku warga negara kincir angin. Sedangkan Abdullah Alatas mengalami saat-saat hari Sabat dimana warga Yahudi sambil bernyanyi membaca kitab Talmud dan Zabur, dua kitab suci mereka.
Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Konon, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu. Yang pasti dalam catatan sejarah Yahudi dan jaringan gerakannya, mereka sudah lama menancapkan kukunya di Indonesia. Bahkan gerakan mereka disinyalir telah mempengaruhi sebagian tokoh pendiri negeri ini. Sebuah upaya menaklukkan bangsa Muslim terbesar di dunia.
Dalam buku “Jejak Freemason & Zionis di Indonesia” disebutkan bahwa gedung Bappenas di Taman Suropati dulunya merupakan tempat para anggota Freemason melakukan peribadatan dan pertemuan. Gedung Bappenas di kawasan elit Menteng, dulunya bernama gedung Adhuc Stat dengan logo Freemasonry di kiri kanan atas gedungnya, terpampang jelas ketika itu. Anggota Freemason menyebutnya sebagai loji atau rumah setan. Disebut rumah setan, karena dalam peribadatannya anggota gerakan ini memanggil arwah-arwah atau jin dan syetan, menurut data-data yang dikumpulkan penulisnya Herry Nurdi.
Dalam buku tersebut juga disebutkan, meski pada tahun 1961, dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, Presiden Sukarno melakukan pelarangan terhadap gerakan Freemasonry di Indonesia. Freemasonry atau Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda masuk ke Indonesia dengan beragam cara. Terutama lewat lembaga masyarakat dan pendidikan. Pada mulanya gerakan itu menggunakan kedok persaudaraan kemanusiaan, tidak membedakan agama dan ras, warna kulit dan gender, apalagi tingkat sosial di masyarakat.
Namun, pengaruh Zionis tidak pernah surut. Hubungan gelap ‘teman tapi mesra’ antara tokoh-tokoh bangsa dengan Zionis Israel ternyata masih terus berlangsung.
Wallahu a’lam bis showwab