Makassar, Rasilnews – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel) bersama dengan beberapa nelayan Pulau Kodingareng melakukan aksi penyelaman di lokasi bekas tambang pasir laut, tepatnya di perairan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam aksinya, mereka menyerukan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 tahun 2023.
Manajer Kampanye Walhi Sulsel, Fitrah Yusri menilai PP 26 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut diduga kuat akan melegalisasi praktik penambangan pasir laut di Indonesia.
“Dengan terbitnya peraturan ini, kami rasa pemerintah tidak belajar dari kasus (penambangan pasir laut) tiga tahun yang lalu di Pulau Kodingareng. Dimana dampaknya masih dirasakan oleh nelayan dan perempuan,” ujar Yusri, dalam keterangan persnya yang diterima Rasilnews, Selasa (1/8/2023).
Diketahui, pasca penambangan pasir laut yang dilakukan kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis di perairan Sangkarrang untuk proyek reklamasi Makassar New Port (MNP) itu dinilai merusak kawasan perairan Makasar.
Menurut Yusri, beberapa dampak masih dirasakan oleh masyarakat Pulau Kodingareng seperti potensi abrasi dan banjir rob, arus dan ombak yang semakin tinggi, perekonomian keluarga nelayan belum pulih total.
“Hingga saat ini banyak dari keluarga nelayan yang merantau keluar pulau untuk mencari penghidupan yang baru (pasca penambangan pasir laut),” ujarnya.
Tidak hanya melakukan kampanye di bawah laut, Walhi Sulsel juga melakukan monitoring langsung bekas penambangan pasir laut tiga tahun lalu yang dilakukan oleh PT Royal Boskalis di wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng.
“Hasilnya, meskipun aktivitas penambangan pasir laut tidak lagi berlangsung, namun sisa-sisa kerusakan masih ditemukan seperti beberapa terumbu karang yang memutih (bleaching) dan juga lantai laut yang berlumpur. Kondisi ini sangat berbeda dengan wilayah lain yang tidak masuk konsesi, di mana terumbu karangnya sangat baik,” jelas Yusri.
Yusri khawatir, jika peraturan PP 26 tahun 2023 ini tidak dihapus, dampak sosial dan lingkungan yang masih dirasakan oleh nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng ini terus mengancam.
“Tuntutan kami, jelas agar peraturan pemerintah ini dihapus. Karena akan banyak menimbulkan kerugian sosial-lingkungan bagi masyarakat dan bisa juga berpotensi merugikan keuangan negara seperti kasus dugaaan korupsi pasir laut di perairan Galesong Takalar yang saat ini menjerat dua direktur dari perusahaan pemilik konsesi dan sedang dalam pemeriksaan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pada 15 Mei 2023 lalu.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan latar belakang penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 tahun 2023 tersebut.
Seperti diketahui, dalam peraturan pemerintah tersebut, dikatakan hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur.
Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, beleid tersebut memberikan kepastian hukum pemanfaatan pasir dari sedimentasi di laut.
Dia menyebut, kebutuhan pasir laut untuk reklamasi di dalam negeri terbilang besar.
“Kalau ini kami diamkan, tidak diatur dengan baik, bisa jadi pulau-pulau diambil untuk reklamasi atau sedimen di laut malah diambil, akibatnya kerusakan lingkungan ini yang kami jaga dan hadapi, makanya terbit PP,” ujar Trenggono dalam konferensi pers di Gedung KKP, Rabu (31/5/2023).***