Artikel Republika, Oleh: Prof Azyumardi Azra (1955-2022), cendekiawan Muslim
NAIK haji bagi orang Muslim Indonesia sepanjang sejarah lebih daripada pemenuhan kewajiban keagamaan. Ibadah haji di Tanah Suci yang sangat jauh dari nusantara juga terkait dengan motif politik, keilmuan Islam, sosial, dan budaya. Penunaian ibadah haji berarti ‘paripurna’ dalam penunaian kelima rukun Islam. Tak kurang pentingnya juga mengandung implikasi keagamaan, politik, sosial, dan budaya dalam skala besar yang tidak pernah terbayangkan.
Perspektif seperti ini sangat membantu untuk menjelaskan mengapa banyak penguasa dan kalangan istana kesultanan melakukan macam-macam upaya mengafiliasikan diri dengan Tanah Suci, khususnya Makkah sebagai lokus ibadah haji. Seperti diisyaratkan Henri Chambert-Loir dalam Buku Pertama, Naik Haji Di Masa Silam, berbagai periwayatan tradisional seperti hikayat, sejarah, tambo, babad secara hampir senada bercerita tentang hubungan sultan dan raja dengan Makkah sejak bermulanya proses Islamisasi massal pada akhir abad ke-13. Tak kurang pentingnya, sejak terbentuknya kesultanan atau kerajaan di nusantara, terdapat sultan yang dilaporkan sudah berniat pergi haji.
Menurut beberapa sumber, dua sultan awal Kerajaan Melaka pada abad ke-15 ingin naik haji, tetapi keduanya lebih dulu wafat sebelum sempat mewujudkan niatnya. Selanjutnya, berbagai sultan di nusantara sejak dari Kesultanan Banten, Aceh, Palembang, Mataram sampai Makassar berusaha mendapat pengakuan dari Makkah yang mereka pandang sebagai pusat otoritas keagamaan dan otoritas politik. Untuk kepentingan itu, sultan-sultan menyatakan niat pergi haji yang dalam kenyataannya sering dilakukan badal yang diutus khusus pergi ke Tanah Suci.
Naik haji bagi sultan atau raja dan elite politik di istana memberi tambahan legitimasi dan leverage di mata para warganya. Sebaliknya, di pihak warga yang mampu, naik hajinya sang sultan atau petinggi istana memberikan inspirasi dan dorongan untuk juga pergi naik haji.
Menunaikan ibadah haji dalam konteks dinamika Islam Indonesia adalah salah satu simbol terpenting dari kepatuhan pada ortodoksi Islam. Tetapi, upaya adopsi dan pengamalan Islam ortodoks dalam umat Muslimin Indonesia bukan tanpa kontestasi. Memang, sejak awal penyebaran Islam secara masif di Kepulauan nusantara, sejarah menunjukkan adanya kontestasi dan pergumulan antara Islam ortodoks pada satu pihak menghadapi pemahaman dan praktik unorthodox, tidak lazim, atau bahkan heterodox, menyimpang.
Sepanjang sejarah Islam nusantara, dari dulu sampai sekarang, terdapat kalangan Muslim Indonesia yang mengabaikan atau bahkan menolak ortodoksi. Dalam konteks pergumulan tadi, di masa silam, di masa kesultanan ada kalangan penguasa yang menganggap pergi naik haji ke Tanah Suci bukan ide yang baik. Bahkan, di masa Orde Baru, pernah ada pandangan bahwa menurut konsepsi kekuasaan Jawa, penguasa dapat kehilangan auranya jika pergi haji.
Mereka yang enggan mengikuti ortodoksi ini pernah populer disebut sebagai orang ‘Kejawen’ atau ‘abangan’. Tetapi perubahan politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya yang sangat intens sejak 1990-an, banyak kalangan ini mengalami proses ‘reislamisasi’ atau ‘santrinisasi’ sehingga sulit menemukan adanya semacam resistansi batin untuk pergi haji. Sebaliknya, jumlah jamaah haji terus meningkat, jauh melebihi kuota yang ditetapkan Pemerintah Arab Saudi, menciptakan daftar tunggu sangat panjang —menunggu antara 10 sampai 15 tahun dewasa ini.
Dengan demikian, sejak masa awal perjalanan ke Tanah Suci juga mencakup apa yang bisa disebut sebagai ‘politik haji’ yang melibatkan pihak kesultanan, kemudian penguasa kolonial Belanda, yang akhirnya Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama.
Pada pihak lain, di masa Orde Baru pernah populer istilah ‘haji politik’ yang mengacu pada anggapan bahwa pergi haji ada untuk kepentingan politik tertentu. Kedatangan VOC Belanda tak urung juga menjadikan perjalanan naik haji sebagai bagian integral dari upaya menguasai wilayah nusantara satu demi satu.
Seperti dicatat Chambert-Loir pada September 1646, VOC Belanda berhasil membuat Sultan Amangkurat I dari Mataram untuk menandatangani perjanjian. Pihak VOC dalam perjanjian itu, antara lain, membolehkan penguasa Mataram mengirim ‘calon ulama’ [murid Jawi yang sekaligus calon jamaah haji] dengan menumpang kapal Belanda ke ‘tanah yang jauh’ [Tanah Suci].
Orang Indonesia naik haji sejak masa paling awal sesuai dengan periwayatan yang ada datang dari berbagai penjuru nusantara. Buku pertama Naik Haji di Masa Silam 1482-1890 menunjukkan literatur catatan dan kisah naik haji sejak dari Pasai, kawasan Selat Malaka, Aceh, Minangkabau, Riau, Cirebon, Sunda Kelapa, Banten, Sunda-Priangan, Mataram, sampai Makassar.
Adanya riwayat naik haji yang terkait dengan daerah-daerah tersebut mengisyaratkan penyebaran Islam yang cukup intens di Kepulauan Nusantara secara keseluruhan.
Wallahu ‘alam bis shawab