Resonansi Republika
Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
TURKI, 15 Juli 2016. Presiden Recep Tayyip Erdogan muncul di sebuah wawancara saluran pribadi melalui aplikasi ‘FaceTime’ di iPhone penyiar televisi Hande Firat, untuk on air di CNN Turk. Erdogan —saat itu sedang liburan di Marmaras— menginstruksikan rakyat Turki turun ke jalan-jalan, alun-alun, bandara, guna menggagalkan kudeta militer. CNN Turk saat itu luput dari penggerebekan pelaku kudeta.
Pada waktu yang sama, semua kamera dunia bergerak ke arah Turki. Demokrasi dipertaruhkan. Turki akan kembali dalam cengkeraman tentara. Namun, yang terjadi kudeta gagal total, setelah rakyat di segala lapisan turun ke jalan. Kudeta gagal. Erdogan lebih kuat dari sebelumnya. Dan, pada Ahad malam pekan lalu, Erdogan pun merayakan kemenangannya bersama jutaan pendukung. Ia terpilih kembali menjadi Presiden Turki. Kemenangan ini sekaligus menambah panjang kekuasaannya yang sudah berlangsung selama 20 tahun.
Di atas atap mobil van yang diparkir di depan rumahnya di Istanbul, di malam yang dingin, Erdogan, 69 tahun —didampingi istrinya, Aminah Erdogan— pun berpidato penuh semangat di tengah ratusan ribu pendukungnya. Ia membuka dengan bersenandung: “Bagi yang mendengar dan tidak mendengar, bagi yang bertanya dan tidak bertanya, kami berkata, ‘Kami mencintai kalian…”Di sela pidatonya, Erdogan juga mengatakan, “Bye bye Kemal…” Ia melambaikan kedua tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal kepada orang tersebut.
Kemal yang dimaksud adalah Kemal Kilicdaroglu, 74 tahun, saingannya dalam pemilu presiden. Ia pemimpin Partai Rakyat Republik. Ia didukung enam partai yang secara ideologis sangat berbeda, dari sekuler, liberal, nasionalis, hingga Islam. Bahkan, ia juga didukung dua partai yang dibentuk dua kolega Erdogan di AKP yang membelot, Ahmed Davutoglu dan Ali Babacan. Enam partai ini tergabung dalam Koalisi Rakyat, yang baru dibentuk menjelang pemilu. Tujuan koalisi hanya satu: menggulingkan Erdogan!
Sebelumnya banyak pengamat yang memperkirakan Erdogan akan tumbang. Pun berbagai lembaga survei. Juga media dan sejumlah pemimpin Barat. Apalagi ekonomi Turki sangat buruk, penanganan korban gempa bumi yang menewaskan lebih 50 ribu orang sangat lamban, pengungsi membanjir, dan berbagai persoalan lain. Namun, pemenangnya ternyata masih Erdogan. Rakyat Turki masih lebih percaya kepadanya daripada Kilicdaroglu. Perlu dicatat: Kilicdaroglu telah kalah 11 kali melawan Erdogan di segala tingkatan pemilu.
Sejumlah pengamat Turki berpendapat kemenangan Erdogan tidak lepas dari latar belakangnya. Erdogan lahir pada 1956 di Kasimpasa, kawasan miskin di Istanbul, tapi terkenal sebagai daerah pekerja keras. Di Kasımpasa, Erdogan kecil mengenal kondisi masyarakat miskin perkotaan sekaligus solidaritas masyarakat.
Saat muda, Erdogan pernah berjualan semangka, limun, dan roti bagel untuk membantu orangtua. Ia menempuh pendidikan di ‘al Aimmah wal Khutaba’, sekolah yang mengajarkan cara dakwah dan ceramah, termasuk beradu argumentasi. Setelah lulus pada 1973, ia meneruskan kuliah di Fakultas Ekonomi dan Perdagangan di Universitas Marmara, Istanbul.
Gabungan antara dunia dakwah dan ilmu manajemen modern itulah yang tampaknya berguna ketika Erdogan terjun di dunia politik. Namun, masih ada yang kurang: seni menghadapi lawan. Itu ia dapat dari lapangan sepak bola. Mengolah bola bundar memang hobi Erdogan sejak kecil. Ia sempat menjadi bagian dari tim semiprofesional sebagai striker. Namun, pada 1976 ia menolak tawaran Klub Fenerbahce sebagai pemain profesional, atas permintaan ayahnya. Hobi menggocek bola dan mengecoh lawan yang tidak ia dapat di lapangan sepak bola, ternyata di kemudian hari ia peroleh di lapangan yang lebih besar, yaitu dunia politik.
Pada 1970-1980-an, Erdogan sudah aktif di kalangan Islamis. Ia bergabung dengan Partai Kesejahteraan (Rafah) pro-Islam pimpinan Necmettin Erbakan. Ketika partai ini semakin populer pada 1990-an, Erdogan mencalonkan diri sebagai wali kota Istanbul pada 1994, dan berhasil.
Istanbul adalah kota padat penduduk dan persoalan. Namun dalam empat tahun, Erdogan berhasil mengubah kota yang paling jorok di Eropa itu menjadi kota indah nan aman yang menjadi tujuan wisata dunia. Keberhasilan itu tentu menjadi pembuka jalan bagi karier politik Erdogan selanjutnya: Perdana Menteri Turki. Namun, pada 1997 ia tersandung bait puisi yang ia sampaikan ketika berpidato di depan umum. Ia dituduh telah melanggar sekularisme Negara Turki. Salah satu bait puisi berbunyi: “Masjid adalah barak kami, kubah adalah helm kami, menara masjid adalah bayonet kami, dan orang-orang yang loyal adalah tentara kami”. Ia pun dipenjara selama empat tahun. Penjara tampaknya jadi tempat yang baik bagi Erdogan berkontemplasi dan merencanakan langkah-langkah politik berikutnya.
Selepas dari penjara, ia pun menempuh jalan berbeda dengan mentor politiknya, Erbakan, yang dikudeta oleh militer ketika jadi PM.Pada 2001, ia membentuk partai baru, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang mengedepankan sekularisme Turki, tapi dengan roh Islam. Pada 2002, AKP memenangkan pemilihan parlemen, yang kemudian mengantarkan Erdogan menjadi PM setahun kemudian. Sepanjang kepemimpinannya, Erdogan juga tumbuh sebagai tokoh penting dalam politik internasional. Ia menunjukkan Turki sebagai kekuatan regional.
Kendati Turki anggota NATO, Erdogan tetap berhubungan dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Ia pun memosisikan dirinya sebagai penengah dalam perang Rusia di Ukraina.
Pada Ahad pekan lalu Erdogan telah menang pemilu presiden. Kemenangan yang sekaligus mementahkan semua perkiraan, terutama lembaga survei, lawan politik, dan media Barat. Kemenangan itu juga menambah panjang kekuasaan Erdogan yang telah 20 tahun ia genggam. Dan, dua hari lalu dilantiklah Erdogan si penjual roti bagel, lulusan sekolah para imam dan khatib, sarjana ekonomi, dan striker sepak bola.
Wallahu A’lamu Bisshawab