Jakarta, Rasilnews – Presiden Joko Widodo kembali menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. PP tersebut pun menuai beragam protes dari sejumlah kalangan.
Salah satu pihak yang tak setuju dengan kebijakan Jokowi itu ialah Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Kiara menilai, adanya PP No. 26 Tahun 2023 itu justru semakin menunjukkan watak asli pemerintah, dalam melihat sumber daya kelautan.
“Hanya bercorak ekstraktif dan eksploitatif, tetapi dibungkus dengan dalih melindungi dan melestarikan lingkungan laut,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, mengutip VIVA Bisnis, Selasa (6/6/2023).
Menurut Susan, PP ini adalah wujud nyata gagalnya konsep poros maritim yang digencarkan oleh Presiden Jokowi. Dia menegaskan bahwa inilah bukti kepalsuan dari poros maritim, karena PP ini hanya akan melanggengkan perampokan terhadap sumber daya laut.
Padahal, sambungnya, beban kerusakan lingkungan akan dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir, yang sangat bergantung dengan sumber daya kelautan dan perikanan. Sementara, pemerintah hanya berorientasi untuk penambahan pemasukan negara, yang mengharapkan peningkatan pendapatan negara.
“Tapi di sisi lain, tidak menghitung secara mendalam bahwa akan terjadi kerusakan sumber daya kelautan jika PP ini dijalankan,” ujar Susan.
Selain Kiara, Greenpeace juga terang-terangan menolak PP 26/2023 tersebut.
“Ini adalah greenwashing ala pemerintah. Pemerintah kembali bermain dengan narasi yang seakan mengedepankan semangat pemulihan lingkungan dan keberlanjutan, tetapi nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki,” ucap Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, mengutip siaran pers Greenpeace yang dipublikasikan pada Senin (29/5/2023).
Regulasi itu menurut Greenpeace, mengizinkan kembali pengerukan, pengisapan, dan ekspor pasir laut yang sudah pasti akan menghancurkan ekosistem laut.
Selain itu, sambung Afdillah, aktivitas ini juga akan memicu percepatan tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar wilayah yang ditambang karena mengubah kontur dasar laut yang berpengaruh pada pola arus dan gelombang laut.
“Ditambah lagi kerugian yang akan dialami masyarakat pesisir sebagai kelompok yang akan terdampak langsung dari perubahan ekologis akibat tambang pasir laut,” imbuhnya.
Afdillah menyebutkan, setidaknya ada dua pasal dalam PP 26/2023 yang berisi ketentuan soal ekspor pasir laut, yakni Pasal 9 dan Pasal 15.
“Pasal-pasal itu menyebutkan bahwa pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat digunakan untuk ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Partai Buruh pun menyuarakan hal serupa, yaitu turut menolak kebijakan kebijakan pemerintah yang membuka ekspor pasir laut melalui PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai, kebijakan pemerintah dapat merugikan negara dan pekerja serta membahayakan kedaulatan dan lingkungan.
“Oleh karena itu, Partai Buruh menolak keras dibukanya kembali ekspor pasir laut,” kata Said Iqbal dalam konferensi pers, Jumat (6/2/2023).
Said Iqbal menjelaskan, tiga fokus utama didirikannya Partai Buruh adalah labour right atau hak tenaga kerja. Partai Buruh hadir untuk memastikan hak-hak buruh terpenuhi. Misalnya upah yang layak, kesejahteraan dan tidak boleh ada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kedua terkait dengan human right atau hak asasi manusia yang menjadi concern Partai Buruh di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Ketiga adalah protection and environmental yaitu perlindungan lingkungan.
“Dalam kasus pasir laut, Partai Buruh memandang dari protection and environmental atau perlindungan lingkungan,” kata Said Iqbal.
Menanggapi berbagai kritik tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pun buka suara. Arifin membeberkan alasan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut, yaitu untuk menjaga alur pelayaran dan nilai ekonomi akibat sedimentasi tersebut.
“Yang dimaksud dan diperbolehkan itu sedimen, kan channel itu kebanyakan terjadi pendangkalan karena pengikisan dan segala macam. Nah untuk jaga alur pelayaran maka didalami lagi. Itu lah yang sedimen itu lebih bagus dilempar keluar dari pada ditaruh ditempat kita juga,” kata Menteri ESDM, di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (31/5/2023).
Dia menjelaskan sedimen yang terjadi di dasar laut membuat pendangkalan alur pelayaran dan membahayakan bagi kapal yang melintas.
Hal ini banyak terjadi yang dekat lintas pelayaran seperti yang terjadi di Selat Malaka sampai selat antara Batam dan Singapura. Selain itu pasir laut juga memiliki nilai ekonomi bagi negara.
Terlebih sedimen yang berupa lumpur itu juga menurutnya lebih baik dijual ke luar negeri ketimbang menumpuk di jalur pelayaran.
“Sekarang begini, kalau mengendap jadi apa? Sedimen aja dan membahayakan alur pelayaran. Kan dikeruk ada ongkosnya, ada nilainya dong. Maka ada yang mau nggak? Supply demand pasti ada,” kata Arifin.
Di sisi lain, Arifin masih enggan menyebutkan negara mana saja yang berpotensi menjadi pasar pasir laut dari RI, ia menyebut negara seperti Singapura pasti membutuhkan.***