Rabu, 21 Ramadhan 1444 H/ 12 April 2023
Ada peribahasa yang mengatakan, “Jika tak ada keberanian berkata benar maka sejatinya ia hidup tanpa mahkota.” Berkata benar ketika tidak ada tekanan tentu mudah saja. Namun, bagaimana sulitnya berkata benar ketika di bawah tekanan kekuasaan dan atasan? Apalagi jika kebenaran itu menyangkut nasib orang banyak baik menyangkut ekonomi, sosial, kedudukan, jabatan, dan kekuasaan, sudah pasti orang akan lebih memilih bersikap aman dengan berkata sebaliknya alias membelakangi kebenaran.
Nabi Muhammad ﷺ berpesan, “Katakan yang benar walau pahit rasanya.” (HR Ahmad). Hadits ini memiliki makna bahwa kebenaran itu harus ditegakkan, bagi dan oleh siapa saja! Kebenaran milik semua orang, bukan milik mereka yang berkelas, berpengaruh, atau berkuasa saja.
Sebagai panutan dalam kehidupan umat, ada sosok orang-orang berilmu yang disebut ulama. Mereka yang memiliki prinsip dan berpegang teguh pada prinsipnya, itulah yang seringkali disegani oleh banyak pihak. Sementara mereka yang selalu mengikuti kemana arah angin bertiup, terkadang malah diperalat dan dijadikan tunggangan.
Biasanya pihak lawan melihat celah kerapuhan prinsip hidupnya, lalu dengan sedikit imbalan, prinsipnya bisa dinegosiasikan. Mereka mudah berpindah haluan, bukan karena rujuk pada kebenaran, tapi karena godaan syahwat keduniawian. Bisa dengan harta, kedudukan, bahkan wanita.
Sejatinya, ulama itu tidak boleh berdiplomasi di saat kemungkaran sudah terang benderang di pelupuk mata. Ulama tidak boleh bermujamalah (basa-basi) pada kezaliman, nyatakan salah jika itu salah. Kebenaran tidak bisa dioplos dengan kebatilan. Jika itu terjadi, maka biasanya yang melalukan ini adalah ‘ulama oplosan’, bukan “ulama oposan”.
Mengutip artikel Hidayatullah.com tentang ulasan buku “Ulama-ulama Oposan”. Buku yang berkisah tentang empat orang ulama yang dikenal sebagai pejuang dan memiliki prinsip yang kokoh dalam perjuangan. Ulama oposan tidak tunduk pada godaan keduniaan. Ia tidak berfatwa untuk mengikuti selera orang banyak. Ia tidak menghamba pada kekuasaan. Jejak kakinya tak ditemukan di lantai mewah istana, tetapi di medan-medan dakwah jihad fii sabilillah.
Penulis buku ini mengatakan, keempat ulama itu adalah orang-orang yang memiliki keteguhan prinsip, dan dalam rentang waktu sepanjang hayatnya, prinsip itu dengan kokoh dipegangnya. Konsistensinya dalam memegang prinsip hidupnya tersebut sudah teruji di lapangan. Mereka adalah; Syaikh Haji Rasul atau Abdul Karim Amrullah, ulama asal Minangkabau, ayah dari Buya Hamka; Ustadz A. Hassan, guru utama Persatuan Islam (Persis) yang dikenal sebagai penulis yang hujjah-hujjahnya tajam; KH. Zainal Mustofa, Singa dari Tasikmalaya yang bersama para santrinya menggerakan perlawanan melawan penjajah Jepang, dan KH Isa Anshari, Ketua Front Anti Komunis asal Minangkabau yang lama bermukim di Bandung, yang setiap keliling berdakwah selalu membawa kain kafan di tasnya. Tentu masih banyak juga ulama yang seperti mereka. Namun penulis buku ini, tanpa bermaksud menihilkan para ulama lainnya, hanya memotret dan mengisahkan tentang empat orang saja.
Ulama adalah sosok yang mengakar ke bawah, ke tengah-tengah umat. Bukan merambat ke atas, apalagi dengan mendekat-dekat pada kekuasaan. Lisannya adalah perisai bagi dakwah, bukan tameng bagi kekuasaan. Ilmunya menjadi lentera di tengah kegelapan, bukan menjadi nyala api yang berkobar-kobar membakar.
Ulama oposan tidak takut celaan dan tidak risau kehilangan pamor dalam menyuarakan kebenaran. Sebab tabiat ulama sesungguhnya adalah oposan terhadap kemungkaran, apalagi kemungkaran yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Ia tidak akan berada pada kondisi serba kepura-puraan, seperti pura-pura patuh, pura-pura bertindak, pura-pura senang, pura-pura mendukung, pura-pura semangat, dan pura-pura lainnya. Karena nanti hasilnya pun juga akan penuh kepura-puraan. Kebaikannya pun juga penuh kepura-puraan. Kalau sudah begini, akan semakin membuat umat bingung.
Waalahu’alam Bishshowwab