TEPAT hari ini, kita perlu merenungkan kembali. Mengingat sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia khususnya bagi Umat Islam. Fakta peristiwa luar biasa yang terjadi di bulan Ramadhan adalah bukti sejarah yang patut untuk kita syukuri. Peristiwa proklamasi yang sangat besar maknanya bagi bangsa ini, harus selalu kita ingat setiap 9 Ramadhan. Tidak semata-mata untuk bersuka cita, tetapi juga untuk memahami perjuangan para Ulama bersama umat Islam pada khususnya, dalam memerdekakan Indonesia.
Menjadi suatu nikmat luar biasa bagi rakyat Indonesia pada saat itu, dihadiahkan sebuah kemerdekaan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, pada hari Jumat di bulan Ramadhan. Momentum sejarah besar bangsa Indonesia, terjadi pada hari yang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945. Dibacakannya teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, merupakan saksi atas lahirnya sebuah bangsa yang merdeka.
Dikutip dari Buku Api Sejarah 2 karya Prof Ahmad Mansur Suryanegara, seorang sejarawan dan penulis asal Bandung. Ia merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam Islamisasi penulisan sejarah. Ia juga merupakan pembina berbagai pondok pesantren, masjid, dan yayasan yg berada di wilayah Jawa Barat, khususnya Bandung. Menurut beliau, Proklamasi kemerdekaan RI yang terjadi pada 9 Ramadhan 1334 H itu adalah titik kulminasi gagasan, tekad, dan perjuangan. Proklamasi memang diikuti dengan pecahnya revolusi di berbagai daerah dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Sesaat sebelum dibacakannya teks Proklamasi, Jumat dini hari, Sukarno dan Hatta menggelar rapat di rumah kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda. Rumah yang belakangan ini terkuak sejarahnya hibah dari saudagar asal Yaman, Fajadj bin Martak. Berbekal nasi goreng, roti telur, dan ikan sarden untuk teman sahur, rapat semalam suntuk itu berakhir. Para pemimpin memutuskan proklamasi dikumandangkan di halaman rumah Bung Karno pukul 10.00. Upacara proklamasi itu tanpa protokol. Tidak ada yang ditugaskan, tidak ada persiapan panjang, dan dengan rencana yang sangat singkat.
Menurut D. Rini Yunarti dalam bukunya, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI (2003), Dalam autobiografinya, Bung Karno berkisah. Dia berjalan pulang pada petang hari setelah proklamasi kemerdekaan. Bung Karno melihat pedagang sate tak berbaju. Kemudian dia memesan, “Sate ayam lima puluh tusuk.” Setelah itu, Sukarno jongkok dengan lahap menyantap menu berbuka puasanya. Baginya, inilah pesta pengangkatannya sebagai kepala negara. Sebuah acara perayaan ala kadarnya, dalam bulan yang suci.
Jika ditelusuri lagi peristiwa penting lainnya sebelum hari proklamasi kemerdekaan. Kita jangan melupakan peran ulama pesantren yang cukup sentral membuat seluruh komponen pejuang kemerdekaan Indonesia tidak ingin melepaskan diri dari bimbingan para ulama. Hal ini dibuktikan ketika para pejuang nasionalis seperti Bung Karno, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain-lain senantiasa sowan kepada kiai dalam memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara.
Dikutip dari NUonline.com, meminta nasihat, saran, dan masukan para kiai bagi para pejuang merupakan hal penting karena segala sesuatunya tidak terlepas dari Rahmat dan Ridho Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Meminta nasihat terjadi ketika Bung Karno, dan kawan-kawan hendak memproklamasikan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan, Bung Karno sowan ke kiai Hasyim Asy’ari.
Kiai Hasyim Asy’ari memberi masukan, hendaknya proklamasi dilakukan hari Jumat pada Ramadhan. Jumat itu Sayyidul Ayyam (penghulunya hari), sedangkan Ramadhan itu Sayyidus Syuhur (penghulunya bulan). Hal itu sesuai dengan catatan Agus Irawan dalam buku “Sang Penakluk Badai: Biografi KH Hasyim Asy’ari” yang menyatakan bahwa awal Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 8 Agustus, utusan Bung Karno datang menemui KH Hasyim Asy’ari untuk menanyakan hasil istikharah para kiai, sebaiknya tanggal dan hari apa memproklamirkan kemerdekaan?
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pemilihan hari kemerdekaan Indonesia dikonsultasikan terlebih dahulu kepada KH Hasyim Asy’ari. Lalu Kiai Hasyim mengumpulkan para ulama secara bersama-sama untuk melakukan munajat kemudian istikharah agar Allah SWT memberi petunjuk hari yang tepat. Maka setelah para ulama memusyawarahkan hasil istikharahnya, dipilihlah tanggal 9 Ramadhan 1364 H yang secara kebetulan itu pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945. Angka Sembilan adalah simbol numerik tertinggi, hari Jumat adalah penghulu atau raja-nya hari dalam sepekan dan Ramadhan adalah rajanya bulan dalam setahun.
Wallahu ‘alam bisshawab