Kamis, 8 Ramadhan 1444 H/ 30 Maret 2023
Momen bulan Ramadhan tak sekadar beribadah, namun banyak tradisi yang menyertainya. Salah satu tradisi saat Ramadhan adalah takjil. Takjil adalah makanan pembuka sebelum makanan berat saat berbuka puasa. Biasanya takjil merupakan makanan ringan yang praktis dikonsumsi sebelum shalat magrib. Hal itu mengacu pada hadis Nabi Muhammad ﷺ untuk menyegerakan berbuka puasa, “Manusia selalu dalam keadaan baik selama mereka segera berbuka (bila waktunya telah tiba).” (HR. Bukhari)
Riwayat lain menyebutkan, saat berpuasa hendaknya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Aisyah radhialluanha berkata, “Siapa di antara mereka berdua yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?” Aku menjawab, “Abdullah bin Mas’ud.” Ia berkata, “Seperti itulah yang dahulu dikerjakan oleh Rasulullah.” (HR. Muslim).
Takjil berasal dari bahasa Arab ‘ajjalu’, yang artinya menyegerakan. Kata ajjalu berasal dari hadis Nabi Muhammad ﷺ dalam Riwayat Bukhari Muslim yang berbunyi “Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (Ajjalu) berbuka”. Dalam praktiknya, di Indonesia ajjalu mengalami pergeseran kata, menjadi ajala yu’ajjilu ta’jilan.
Dalam KBBI takjil sendiri terdapat dua makna, yaitu kata kerja dan kata benda. Untuk kata kerja, takjil berarti makanan. Sedangkan kata benda berarti sajian berbuka puasa. Kamus lain yang mencatat arti takjil sebagai makanan untuk berbuka puasa ialah Loan-Words in Indonesian and Malay (2008), yakni diartikan dengan makanan seperti kurma yang digunakan untuk berbuka puasa. Kamus ini juga mencatat takjil dengan arti hastening (menyegerakan).
Jika dibandingkan pemakaian kata takjil di Indonesia dengan arti ‘menyegerakan berbuka puasa’ dan makna ‘makanan untuk berbuka puasa’, arti yang terakhir inilah yang dikenal secara luas dan sering dipakai masyarakat sebagai penutur bahasa Indonesia. Sementara makna yang pertama, hampir tak terdengar digunakan mayoritas masyarakat Indonesia.
Beberapa sumber menyebutkan istilah tersebut disampaikan oleh penyiar agama Islam sejak abad ke-15 di Jawa. Dikutip dari muhammadiyah.or.id, takjilan dikenalkan oleh Wali Songo sebagai sebagai strategi dakwah. Dikutip dari buku ‘Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan’ karya Abdul Munir Mulkhan, Muhammadiyah punya peran besar dalam mempopulerkan takjil. Meski awalnya banyak ditentang dan sempat disebut bid’ah, namun tradisi tersebut terus diikuti oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Tradisi takjilan makin ramai saat Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta menyediakan 1.200 sampai 1.400 porsi takjil setiap hari. Bahkan Sultan Hamengkubuwono VIII selalu memberikan takjil gulai kambing setiap Kamis sore. Tradisi takjilan itu terus dilestarikan oleh Muhammadiyah di Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya. Hingga kini takjilan sudah menjadi tradisi di Nusantara.
Sumber lain berdasar laporan De Atjehers yang ditulis Snouck Hurgronje, tradisi takjil ada di Aceh sejal awal abad ke- 19. Warga Aceh biasa menyantap bubur pedas atau yang disebut ie bu peudah. Menu itu selalu tersedia di masjid-masjid setiap Ramadhan.
Sementara itu jauh dari daerah Nusantara, waktu berbuka puasa dengan takjilannya juga digunakan sebagai strategi dakwah oleh para khalifah. Karena bulan Ramadhan juga menjadi kesempatan bagi sultan untuk bertemu rakyat secara langsung dalam jamuan buka puasa bersama. Sebagai timbal balik, masyarakat yang hadir kemudian mendoakan kebaikan untuk sultan. Tradisi ini disebut sebagai masabih murjaniyah.
Tradisi ini dilakukan di masa Daulah Utsmaniyah, mulai dari Khalifah, para menteri dan pejabat lainnya. Mereka membuka lebar-lebar rumahnya tiap hari Senin dan Jumat sepanjang Ramadhan. Masyarakat dijamu untuk berbuka puasa dengan berbagai macam hidangan, semisal buah-buahan, minuman, kacang-kacangan, serta berbagai jenis makanan lainnya. Acara buka puasa bersama itu biasanya diiringi dengan bacaan Alquran yang merdu.
Lebih khusus di masa berkuasanya Sultan Musthafa III, tradisi buka bersama dimulai dengan pembacaan kitab tafsir Alquran karya lmam al-Baidhawi yang dikuti oleh sultan. Tatsir yang satu ini merupakan kitab yang dipandang istimewa oleh para penganut Mazhab Hanafi, yang merupakan mazhab fiqih resmi Daulah Utsmaniyah saat itu.
Wallaahu a’lam bisshawaab