Selasa, 17 Jumadil Akhir 1444 H/ 10 Januari 2023
Oleh: Imam Shamsi Ali, President Nusantara Foundation
Hari Senin kemarin, telah berlangsung Dialog kepemimpinan bersama Dato’ Dr. Anwar Ibrahim, Perdana Menteri baru Malaysia. Acara ini dilaksanakan oleh CT (Chairul Tanjung) Corp Leadership Forum. Dan secara kebetulan pula saya termasuk yang mendapat undangan untuk hadir. Saya mengikutinya dari New York (secara virtual). Acara itu sangat prestigious (terhormat) dan luar biasa. Karena dihadiri oleh begitu banyak tokoh-tokoh nasional, termasuk menteri dan mantan menteri, Pimpinan lembaga tinggi negara, petinggi partai, Ulama dan Pimpinan organisasi massa lainnya.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah sosok Anwar Ibrahim itu sendiri yang luar biasa. Kalau sekiranya saya ingin memberikan deskripsi tentang beliau dalam satu kata, mungkin yang tepat adalah “perfect”. Tentunya sempurna yang dimaksud ada pada relevansinya sebagai manusia yang juga pastinya tidak lepas dari konotasi relativitas.
Anwar Ibrahim sejak semasa mahasiswa telah menampilkan diri sebagai mahasiswa yang aktifis, cerdas, dan luas dalam permikiran dan pergaulan. Kecerdasan dan keluasan berpikir Anwar didukung oleh keluaasan referensi, selain tentunya pengalaman yang luar biasa. Sosok Anwar Ibrahim memang istimewa. Perjalanan politiknya yang penjang telah mengantarkannya kepada pengalaman hidup yang lengkap. Pernah merasakan kejayaaan dengan posisi-posisi prestigious di pemerintahan. Tapi juga pernah terhempakkan ke dalam pengalaman pahit, dipenjara sekitar 10 tahunan. Bukan sekedar penjara. Tapi upaya pembunuhan karakter dengan fitnah kejam yang dahsyat.
Tapi seperti yang disampaikan dalam pidatonya itu, Anwar Ibrahim adalah sosok yang berkepribadian kuat. Dan yang lebih penting adalah beliau selalu memiliki pandangan optimisme di tengah goncangan gelombang kehidupan yang tidak bersahabat. Satu hal yang perlu digaris bawahi juga adalah ketulusan Anwar Ibrahim dalam menyikapi perasaan kedekatan secara pribadi dengan Indonesia. Berkali-kali beliau menyebutkan bahwa beliau “is deeply sentimental” (terikat secara emosi) dengan Indonesia.
Lebih dari itu beliau menyampaikan bahwa dengan segala kekurangan dan ketidak sempurnaan Indonesia, bahkan mengutip pernyataan Taufik Ismail “saya malu jadi orang Indonesia”, beliau tetap bangga dengan Indonesia. Bahwa Indonesia telah melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno (nasionalis), Hamka (Islam), bahkan siapa yang beliau disebut sebagai golongan kiri (Soejatmiko). Beliau berbicara dari hati dan kepala dengan penguasaan materi dan komunikasi yang dahsyat. Penguasaan Anwar dengan ragam subyek itu terlihat misalnya ketika menyinggung Urgensi “critical thinking” para ulama/cendekiawan masa lalu. Salah satunya adalah perdebatan intelektual antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi. Belum lagi penguasaan teks-teks keagamaan baik Al-Quran, hadits, bahkan sejarah Islam.
Tiga catatan penting dari berbagai hal yang beliau sampaikan dalam pemaparannya. Pertama, isu kepemimpinan dan demokrasi. Satu catatan penting yang saya simpulkan dari paparan beliau adalah bahwa seringkali demokrasi hanya disikapi pada prosesnya. Banyak orang merasa berdemokrasi karena proses pemilu yang telah selesai dilaksanakan. Tapi banyak yang lupa bahwa kesuksesan demokrasi tidak sekedar pada prosesnya. Demokrasi harus juga dilihat pada etika dari pelaksanaannya. Jika proses itu penuh dengan rekayasa dan ketidak jujuran maka demokrasi itu adalah demokrasi yang cacat. Demokrasi yang tidak perlu dibanggakan. Yang penting adalah kesadaran bahwa demokrasi itu hanya akan valid dan bermakna ketika bertanggung jawab. Tanggung jawab kepada rakyat, juga kepada Allah SWT di akhirat kelak.
Kedua, Urgensi ilmu dalam kepemimpinan. Beliau menekankan bahwa ilmu menjadi sangat penting dalam membangun kepemimpinan yang baik. Beliau memaparkan secara panjang urgensi ilmu bahkan dalam kehidupan keumatan dan berbangsa. Ilmu menjadi pilar kebangkitan bangsa dan Umat.
Ketiga, Urgensi aktualisasi keadilan sosial. Latar belakang Anwar Ibrahim sebagai aktifis menjadikan beliau sebagai “social justice icon”. Dari awal hingga akhir pemaparan beliau isu social justice seolah menjadi poin terpenting dari pemaparan itu. Yang menarik adalah ketika menyebutkan makna “ukhuwah” dalam konteks kebangsaan. Beliau menekankan bahwa secara agama Umat Islam itu bersaudara. Tapi di luar ikatan keagamaan itu juga ada persaudaraan “ukhuwah insaniyah” (Saudara semanusia). Selain itu beliau menekankan bahwa beliau bukan anti modal (kapital). Tapi kapitalisme bukan solusi. Justeru perlu jalan tengah dalam menyelesaikan perekonomian dunia. Kemajuan perekonomian tidak bisa dipisahkan dari konsep “social justice” (keadilan sosial).
Mungkin hal lain cukup menusuk dari penyampaian Anwar Ibrahim adalah ketika menyentuh isu korupsi. Menurutnya, korupsi tidak mudah diberantas karena Sudah bersifat “sistemik”. Korupsi menjadi prilaku yang seolah telah menjadi bagian dari sistem yang ada. Upaya memberantasnya sangat tidak mudah. Karena memang kerap berhadapan dengan kekuasaan. Seraya bercanda beliau mengatakan: “itulah sebenarnya yang telah terjadi pada dirinya”.
Demikian catatan penting dari pemaparan dahsyat dan bermutu dari Seri Dato’ Dr. Anwar Ibrahim. Semoga jadi pelajaran yang baik untuk bangsa Indonesia. Khususnya mereka yang sedang mendapat cobaan amanah kekuasaan dari Allah SWT.
Wallahu A’lam Bish-shawab