Jakarta, Rasilnews – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja inkonsisten dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi.
Hal itu menanggapi, Presiden Joko Widodo yang menerbitkan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja. Pemerintah mengklaim Perppu tersebut menggantikan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kurniasih, menyebut yang harus dilakukan Pemerintah adalah memperbaiki UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi.
Dalam pertimbangan putusan MK, UU Cipta Kerja cacat formil karena tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang. Kemudian, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden. Sekarang pemerintah justru dalam Perppu disebutkan menghilangkan fungsi legislasi DPR.
“MK berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Ini malah membuat Perppu untuk menggantikan dengan menghilangkan peran DPR,” ujar Kurniasih seperti dikutip dari Perlementaria, Senin (2/1).
Di tempat berbeda, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mengkritik penerbitan Perppu tentang Cipta Kerja oleh pemerintah tidak menghormati putusan MK. Mengingat, MK dalam putusannya menyatakan Omnibus Law Cipta Kerja inkonstitusional sehingga perlu adanya perbaikan.
“Ini hanya akal-akalan pemerintah buat menelikung keputusan MK yang meminta agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam waktu dua tahun. Kenapa diminta untuk diperbaiki? karena UU tersebut dianggap cacat secara formil,” kata Netty dalam keterangan tertulis.
“Eloknya ini dulu yang diperbaiki. Status UU Cipta Kerja yang masih inkonstitusionalitas bersyarat itu bisa berubah. Jangan justru arogan dengan menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” tambah Netty.
Menurut Netty, penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini menunjukkan kalau pemerintah tidak menghormati keputusan MK sebagai Lembaga Yudikatif.
“Ini berbahaya bagi perjalanan demokrasi Indonesia, karena MK itu sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif. Kalau Lembaga yudikatif tidak lagi dihormati maka sistem demokrasi yang sudah kita bangun puluhan tahun ini bisa kacau,” jelas Netty.
Selain itu, Netty khawatir jika Perppu Cipta Kerja ini tidak berpihak kepada masyarakat, khususnya para pekerja.
“Banyak kekhawatiran yang muncul, salah satunya bahwa Perppu ini sengaja dimunculkan untuk tetap lebih mengedepankan kepentingan investor dan tidak berpihak kepada para pekerja,” tambahnya.