Kamis, 14 Jumadil Awal 1444 H/ 8 Desember 2022
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada selasa kemarin di Rapat Paripurna 11. Tentu hal ini banyak menimbulkan polemik, karena diketahui jika RKUHP ini terdapat beberapa pasal yang justru membungkam kebebasan dalam berpendapat. Tak hanya itu RKUHP yang disahkan juga memuat pasal yang justru tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Dalam KUHP, ada sejumlah pasal baru yang dianggap masih bermasalah. Misalnya, Pasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden atau Wakil Presiden, Penghinaan, Demo Tanpa Izin Kena Pidana, hingga Larangan Penyebaran Paham Bertentangan dengan Pancasila.
Seperti yang dilansir dari merdeka.com, sebanyak 151 organisasi tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP kompak menolak pengesahan RKUHP. Menurut mereka, ada pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal antidemokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers dan menghambat kebebasan akademik. Selain itu, masih terdapat aturan yang mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat.
Apalagi menyoroti pasal 349 ayat 1 berbunyi “Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Dalam penjelasan RUU tersebut disebutkan, yang dimaksud dengan kekuasaan umum atau lembaga negara antara lain DPR, DPRD, Polri, kejaksaan, atau pemerintah daerah.
Terkait penghinaan, jika pemerintahannya baik, yang muncul pujian, bukan penghinaan. Munculnya pasal penghinaan mengindikasikan pemerintah tidak baik. Jadi, penghinaan tidak perlu diatur jika negara mengutamakan ketakwaan rakyat, yakni dengan mendorong rakyat agar bertakwa dan religius. Pasal ini jelas sekali untuk melindungi oligarki dan seperti ada agenda besar di baliknya. Bisa saja UU ini dipakai agar pejabat yang memutuskan sesuatu yang tidak adil (karena melindungi oligarki), tidak boleh dituntut.
Mencermati hal tersebut, pasal-pasal kontroversi KUHP memang patut kita kritisi. Pertama, berpotensi multitafsir. Jika yang dimaksud menghina adalah mengkritik kebijakan penguasa, maka itu adalah bentuk pembungkaman suara rakyat. Jika yang dimaksud menghina adalah penghinaan fisik penguasa, boleh saja berlaku pasal demikian. Hanya saja, aktualisasi pasal penghinaan kepada pemerintah, kepala daerah, wakil rakyat, atau aparatur negara lainnya sering kali berujung pelaporan oleh pihak-pihak yang tidak terima pemimpinnya dikritik.
Kedua, mengancam kebebasan berpendapat. Bagi publik, pasal-pasal tersebut akan menghalangi hak publik dalam menyampaikan pendapat dan aspirasinya kepada penguasa. Sebagai contoh, pasal 273 yang menyatakan demonstrasi tanpa izin akan dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Ketua YLBHI M. Isnur sangat menyayangkan adanya delik pidana bagi demonstrasi tanpa izin sebab banyak demonstrasi yang dilakukan spontan sebagai bentuk aksi.
Ketiga, mengatur aspirasi rakyat untuk bicara. Jika rakyat diatur sedemikian rupa dengan beraneka pasal yang siap menjerat jika mereka salah bicara, bagaimana dengan penguasa? Adakah hukuman bagi penguasa yang menghina dan mengabaikan hak-hak rakyat karena berbohong salah bicara?
Penguasa itu semestinya melindungi, bukan memenjarakan rakyat. Tidak ada asap tanpa api. Tidak akan ada kritik jika kinerja penguasa benar dan amanah. Rakyat adalah objek kebijakan. Bukankah sudah sewajarnya apabila rakyat marah, mengkritik, lalu menyampaikan aspirasinya? Anehnya, kritik rakyat justru sering dituding menghina. Lagi-lagi, rakyatlah yang paling terdampak pasal-pasal tersebut.
Di balik demokrasi, penguasa sedang mengebiri suara rakyat. Pasal-pasal kontroversi dalam KUHP hanyalah sekelumit fakta betapa rapuhnya demokrasi negeri ini tentang kebebasan berpendapat. Menurut demokrasi, rakyatlah pemilik kedaulatan. Akan tetapi, realisasinya, rakyat menjadi korban kedaulatan kekuasaan. Demokrasi juga disebut menjunjung tinggi hak publik. Faktanya, pemimpin hasil demokrasi malah mengeliminasi hak rakyat dalam mendapatkan pelayanan terbaik. Kebijakan penguasa kerap berlawanan dengan kehendak rakyat.
Wallahu ‘alam bisshawab