Jakarta, Rasilnews – Lembaga Kegawatdaruratan medis, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) mengatakan, jangan ada yang lepas tangan dalam tragedi Kanjuruhan.
Hal itu disampaikan Ketua Presidium MER-C, Sarbini Abdul Murad dalam keterangan tertulis yang diterima Rasilnews di Jakarta. Senin (3/10).
MER-C juga mengucapkan duka dan keprihatinan mendalam atas tragedi Kanjuruhan, sebuah tragedi sepakbola yang kesekian kalinya dan memakan korban terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
“Indonesia dan dunia berduka, khususnya para pecinta sepak bola. Ratusan korban meninggal dan ratusan lainnya mengalami luka-luka pasca laga Arema FC dan Persebaya Surabaya di stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu malam/1 Oktober 2022,” katanya.
Hal ini akibat penonton berdesak-desakan dan terinjak-injak lantaran kepanikan yang ditimbulkan gas air mata yang ditembakkan petugas keamanan.
“Semoga para korban mendapat tempat terbaik di sisi Yang Maha Kuasa dan kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan. Bagi korban luka-luka yang masih dalam perawatan di RS, semoga segera diberikan kesembuhan dan kesehatan,” ujarnya Sarbini.
Menurutnya, masing-masing pihak membawa beban kesalahan. Sarbini juga meminta kepada Kapolri agar mengusut tuntas tragedi kemanusiaan ini sehingga jelas dan terang benderang akar permasalahannya.
“Tragedi ini harus menjadi pelajaran dan introspeksi bersama, agar ke depan kita bisa lebih antisipatif dalam penghelatan yang melibatan massa yang besar,” katanya.
Sebagai sebuah Lembaga kemanusiaan dan kebencanaan, MER-C menyoroti beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam penanganan korban massal (Mass Casualty Management) dalam tragedi kemanusiaan di stadion Kanjuruhan sehingga peristiwa memilukan seperti ini tidak terulang kembali:
1. Overload stadion Kanjuruhan Malang
Berdasarkan informasi, stadion Kanjuruhan mempunyai kapasitas 38 ribu penonton, namun pada saat laga Sabtu kemarin, tiket yang dicetak mencapai 42 ribu.
Overload merupakan faktor resiko terbesar yang memiliki potensi bencana. Di rumah sakit sekalipun, overload ini bisa menimbulkan secondary-disaster akibat terancamnya patient-safety.
Sekali dipicu oleh ketakutan dan kecemasan, massa yang overload ini akan menjadi chaos tak terkendali, dan menimbulkan korban seperti misalnya peristiwa Mina pada saat haji.
2. Penggunaan Gas Air Mata (Tear Gas)
Gas air mata adalah senjata kimia yang berupa gas dan digunakan untuk melumpuhkan dengan menyebabkan iritasi pada mata dan/atau sistem pernapasan. Gas air mata bisa disimpan dalam bentuk semprotan ataupun granat. Alat ini sangat lazim digunakan oleh kepolisian dalam melawan kerusuhan dan dalam penangkapan.
Namun, penggunaan gas air mata oleh petugas keamanan di stadion Kanjuruhan tidak tepat dan menyalahi aturan FIFA yang menyebutkan tidak diperbolehkan sama sekali penggunaan senjata api dan gas air mata untuk pengendalian massa di dalam stadion (ruangan tertutup).
Penanganan di stadion tertutup tentu berbeda dengan pengamanan demonstrasi massal dimana dilakukan di ruang terbuka sehingga dengan mudah massa akan menyebar.
Ketika gas air mata ditembakkan petugas di stadion Kanjuruhan, penonton mulai panik karena mata mulai perih dan saluran pernafasan tercekik, menyebabkan fenomena bottle-neck di mana penonton berdesak-desakan untuk mencari jalan keluar, sehingga korban pun banyak yang berjatuhan.
3. Mitigasi Resiko dan Persiapan (Preparedness) yang belum optimal
Upaya mitigasi adalah bagaimana meminimalisir kemungkinan terjadinya bencana dengan mengidentifikasi faktor-faktor resiko dan melakukan upaya pemecahan yang adekuat. Dalam kasus Kanjuruhan ini misalnya:
a. Mengidentifikasi, usia, derajat kesehatan dan kemungkinan penyakit-penyakit pada para suporter yang hadir. Kemudian dilakukan pemilahan dan pemilihan mana yang diizinkan hadir dan mana yang tidak. Misalnya kelompok balita dan lanjut usia (geriatric) dilarang hadir atau melalui daring saja.
b. Menskrining para suporter agar tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan seperti senjata tajam dan bahan-bahan yang bisa terbakar.
c. Membuat alur dan jalur evakuasi serta titik kumpul yang adekuat pada masing-masing sisi stadion untuk evakuasi pada saat terjadi hal yg tidak diinginkan
4. Upaya Medis dan Penanganan Korban massal (mass casualty management)
a. Menyiapkan Tim Medis dan Tim Penanganan Bencana yang mengerti dan terampil dengan jumlah yang cukup.
b. Mensiagakan sistem pra hospital; sistem triage, ambulance, call center dan faskes-faskes dengan berbagai level, agar para korban bisa segera tertangani, tidak menumpuk pada satu atau dua RS saja.
Terkait prosedur pengamanan, panitia dan aparat keamanan juga perlu memahami standar dan aturan yang ada serta mengevaluasi prosedur apa yang tepat untuk mengatasi massa yang overload dalam satu ruang stadion tertutup dimana akses evakuasi terbatas.