“Tajuk Rasil”
Senin, 13 Dzulqoidah 1443 H/ 13 Juni 2022
Oleh: Tony Rosyid (Pengamat politik dan Pemerhati bangsa)
Survei itu penting. Bahkan bisa jadi mutlak dibutuhkan dalam semua hal. Mau nikah saja, anda perlu survei. Orang menyebutnya ta’aruf. Bisa dikatakan Ta’aruf itu survei. Survei lazim dilakukan di dunia akademik dan lembaga penelitian. Hasil surveinya disosialisasikan melalui buku atau jurnal. Dari sinilah rujukan ilmu pengetahuan berasal.
Survei juga dilakukan oleh korporasi. Di dunia politik, survei juga dibutuhkan. Untuk menentukan calon kepala daerah atau presiden, survei dijadikan dasar. Bahkan untuk menang, survei menjadi petunjuk efektif dalam merumuskan langkah dan strategi politik.
Sekitar 18 tahun belakangan ini, survei politik semakin masif seiring dengan pilkada dan pilpres yang melibatkan partisipasi suara rakyat secara langsung. Tidak ada calon bupati, walikota, gubernur, dan presiden yang tidak menggunakan jasa lembaga survei. Sejak pilkada dan pilpres langsung, bisnis survei semakin menjanjikan. Maka, pemilu jangan sampai ditunda. Ini bisa merusak bisnis survei. Perusahaan jasa survey bisa collapse, gara-gara enggak ada klien.
Selain menjadi pedoman untuk merumuskan langkah dan strategi politik, survei juga seringkali digunakan untuk menyerang lawan politik. Semacam bentuk propaganda. Mereka menggunakan permainan data yang berpotensi men-downgrade lawan.
Tidak perlu heran jika anda membaca rilis hasil survei yang berbeda antara lembaga yang satu dengan lembaga lainnya. Perbedaannya bahkan kadang sangat jauh dan jomplang. Ini boleh jadi bagian dari permainan dan propaganda politik.
Sebagai contoh rilis survei Populi dengan CSIS bulan april tahun ini tentang tingkat kepuasan warga DKI terhadap gubernur Anies Baswedan. Di survei Populi, 73,3 persen warga DKI puas terhadap kinerja Anies Baswedan. Sementara itu baru-baru ini di survei CSIS, yang puas hanya 47,6 persen. Kok beda? Karena respondennya (sample warga yang disurvei) beda. Responden beda, hasil akan beda. Namanya aja beda sumber, ya pasti akan beda hasil. Kalau respondennya sama dan olah datanya benar, hasil enggak akan jauh beda.
Responden survei Populi itu 600 warga (random sampling) dengan background masyarakat umum. Masyarakat Jakarta, juga Indonesia, ya umumnya kelas menengah ke bawah tersebar di beberapa wilayah. Merekalah yang banyak menikmati pelayanan dari Pemprov DKI Jakarta. Maka hasil survei Populi menunjukkan warga Jakarta yang puas sangat besar, yaitu 73,3 persen.
Kelas menengah ke bawah inilah yang menikmati transportasi umum yang murah sampai yang gratis, taman kota, trotoar, jalur sepeda, KJP Plus, dan segala bantuan sosial serta pendidikan, pembebasan pajak, subsidi air bersih, tempat-tempat yang bagus untuk selfie, pemesan kebutuhan by gojek yang diperbolehkan melintas di jalan Sudirman-Thamrin, fasilitas untuk UMKM dan pedagang kecil, juga kenaikan UMP bagi buruh.
Program Pemprov DKI yang telah dijalankan itu semua yang menikmati umumnya kaum menengah ke bawah. Kelas menengah ke atas juga ikut menikmatnya, tapi tidak sebesar kelas menengah ke bawah. PDIP selalu bilang: itu adalah kaum wong cilik.
Sementara survei CSIS hanya ambil 170 responden. Penelitiannya terbatas pada kalangan peneliti, akademisi, wartawan, birokrat, dan politisi. Respondennya kelas menengah atas yang sangat terbatas dan cenderung eksklusif. Pertanyaannya: apakah CSIS juga mensurvei tingkat kepuasan warga Jakarta secara umum? Terdiri dari semua cluster, baik kelas atas maupun kelas bawah? Kalau punya datanya, kenapa enggak dirilis? Biar seimbang dan juga tidak muncul kecurigaan publik bahwa CSIS tidak sedang ikut berpolitik menyerang Anies.
Saling serang via hasil survei sering dilakukan oleh sejumlah lembaga survei yang dikenal punya nama besar. Dalam hal ini, survei memang pisau bermata dua. Mengungkap data obyektif sebagai rujukan untuk merumuskan rencana dan strategi kerja, juga tidak jarang dijadikan alat menyerang lawan. Jelang pilkada dan pilpres, serangan via survei biasanya makin kencang. Sampai di sini, survei sering dijadikan alat menyerang lawan. Itu bagian dari propaganda.
Wallahu a’lam bish shawab