“Tajuk Rasil”
Senin, 29 Syawal 1443 H/ 30 Mei 2022
Pendidikan untuk Generasi Akhir Zaman, Perspektif Pemikiran Mohammad Natsir
Artikel Hidayatullah, Oleh: Wildan Hasan (Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia Kota Bekasi)
Bila kita mencermati tanda-tanda zaman maka kita mendapati bahwa saat ini kita berada di akhir-akhir zaman. Fase yang dekat dengan saat semua amal diperhitungkan lalu dengannya kita mendapatkan rahmat Allah di Surga-Nya atau azab Allah di Neraka-Nya. Apa yang harus kita lakukan di masa seperti ini? Masih pentingkah kita menyiapkan generasi penerus? Apakah sudah terlambat dan tidak ada waktu lagi?
Tentu saja penting dan masih ada waktu. Selain karena itu adalah tugas dan amanah kehidupan, juga karena kita tidak tahu kapan kiamatnya akan datang. Sehingga menyiapkan generasi tidak terbatasi oleh masa apapun meski itu adalah masa akhir zaman. Mari kita perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallohu ‘Anhu dari Rasulullah ﷺ bersabda: “Kendatipun hari kiamat akan terjadi, sementara di tangan salah seorang di antara kamu masih ada bibit pohon kurma, jika ia ingin hari kiamat tidak akan terjadi sebelum ia menanamnya, maka hendaklah ia menanamnya.”
Dalam konteks yang kita bahas ini, bibit atau benih dalam hadits tersebut bisa dianalogikan sebagai generasi muda atau murid-murid dan anak cucu kita. Mereka adalah benih yang harus disiapkan untuk mampu ‘bertarung’ di akhir zaman yang tantangan dan problematikanya bisa jadi jauh lebih berat daripada problematika hidup kita saat ini. Untuk itulah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan; “Didiklah anak-anakmu dengan baik karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zaman kalian.”
Tidak ada cara yang lebih baik dalam menyiapkan generasi terbaik di akhir zaman selain pendidikan. Mohammad Natsir dalam bukunya Capita Selecta, menyebutkan bahwa: “Maju atau mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi maju melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka.”
Namun pendidikan tidak sembarang pendidikan. Selain pendidikan harus diniatkan dan bernilai ibadah, pendidikan pun harus memiliki ruh intiqod (mental dan sikap kritis). Ruh intiqod adalah kekuatan menyiasati dan menyelidiki kebenaran yang ditanamkan oleh agama Islam dalam dada tiap-tiap putera –puteri Islam. Digambarkan oleh Natsir para ilmuwan Islam masa lampau yang telah menghantarkan peradaban Islam ke puncak kejayaannya adalah hasil dari ruh intiqod yang kemudian mendorong pencerahan dan kemajuan peradaban Barat. “Tak lain yang mendidik kami sampai demikian, adalah agama kami yakni agama fitrah, agama yang cocok dan selaras dengan fitrah kejadian manusia,” tulisnya. Oleh karena itu Natsir menegaskan bahwa Wahyu (Alquran) memandu ilmu sehingga melahirkan kemajuan kebudayaan dan teknologi manusia yang beradab dan maslahat bagi kehidupan manusia dan alam di sekitarnya.
Melihat perkembangan pendidikan kita saat ini yang masih bertahan di budaya menghafal dan indoktrinasi, budaya literasi yang amat rendah, semangat berdiskusi mengkaji dan meneliti yang lemah bahkan cenderung dihindari, menunjukkan bahwa kita masih jauh untuk mampu mengembalikan kejayaan peradaban kita di masa kini. Inilah yang harus dengan seksama kita pikirkan dengan serius bagaimana mentransformasi dan mengaplikasikan ruh intiqod dengan realitas dan tantangan zaman saat ini.
Indonesia sendiri diperkirakan pada tahun 2030 an akan mengalami ledakan demografi yang cukup signifikan. Pada tahun tersebut jumlah generasi muda 60% lebih dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Hancur dan berjayanya negeri kita bermula dari bagaimana kita mendidik generasi muda saat ini. Kalau tahun-tahun puncak bonus demografi kita isi dengan manusia-manusia lemah, pengeluh, pembebek, benalu, dan kecanduan narkoba, pornografi, LGBT, sudah pasti kita menyia-siakan kesempatan yang hadir sekali dalam sejarah setiap bangsa ini. Pertanyaannya, apakah kita sudah mempersiapkan mereka?
Kita membutuhkan gerakan kelompok-kelompok kajian, focus group discussion, lembaga-lembaga riset untuk membedah problematika umat dan melakukan kajian serius untuk mendapatkan solusinya. Alquran menyebutnya “tafaqquh fi-Dien”, generasi akhir zaman yang memiliki kepribadian Alquran dan sunnah. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS: At-Taubah: 122).
Sebuah kelompok kajian/riset yang tidak banyak pesertanya tapi terpilih, cerdas, bersemangat tinggi, ikhlas, pekerja keras, tahan terhadap tekanan, visioner dan kreatif. Lembaga-lembaga seperti inilah yang menentukan keberlangsungan suatu organisasi, pergerakan, negara bahkan dunia. Jika sebuah lembaga atau institusi pendidikan tidak memiliki semacam biro riset atau ada tapi tidak berjalan maka tunggulah kemundurannya. Jangan sampai ruh intiqod ini mati dari dada–dada generasi Islam, murid-murid dan anak-anak kita, karena di tangan mereka nasib umat dan bangsa ini di masa yang akan datang, masa generasi akhir zaman.
Wallahu a’lam bish shawab