“Tajuk Rasil”
Kamis, 18 Syawal 1443 H/ 19 Mei 2022
Ruhut dan Paceklik Literasi Politik
Kolom Republika, Oleh: Tamsil Linrung ( Ketua Fraksi DPD di MPR RI)
Pada akhirnya, pelaku rasisme akan melukai dirinya sendiri. Setelah sekian lama menari di atas cuitan-cuitan provokatif, Ruhut pun kesandung. Kali ini, ia diduga bertindak rasis dengan unggahan foto editan Gubernur DKI Jakarta berpakaian adat Papua. Caption-nya, “Hahaha kata orang betawi usaha ngeri x sip deh.” Cuitan itu memancing murka netizen. Jagat maya riuh. Reaksi keras datang dari dua pihak.
Badan Musyawarah Betawi marah karena nama Betawi dibawa-bawa. Ketua Umum Bamus Betawi Riano P Ahmad meminta Ruhut memohon maaf kepada masyarakat Betawi. Reaksi dari Papua lebih keras lagi. Petrodes Mega Kelinduan melaporkan Ruhut ke Polda Metro Jaya. Ia menilai postingan Ruhut Sitompul melecehkan budaya Papua dan dapat dimaknai mengandung unsur pelecehan terhadap Anies dengan pakaian adat suku di Papua itu. Kini, dugaan ujaran bernuansa rasis Ruhut sedang ditangani kepolisian. Kita mendukung proses hukum ini dan menyerahkan sepenuhnya kepada aparat kepolisian. Semoga kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan.
Gaya politik bar-bar belakangan ini banyak mewarnai dinamika politik nasional. Saling serang menajam setiap waktu. Sayangnya, yang membuncah adalah serangan personal, menjauh dari debat argumentatif. Kering narasi, miskin gagasan. Sebagai akibatnya, keberagaman dipecah dalam kotak terpisah, kotak bernama suku, agama, budaya dan lain-lain. Mulut menyanjung Pancasila setinggi langit, tetapi sikap menginjak-injak falsafah hidup bangsa itu. Lidah bertutur NKRI harga mati, tapi tindakannya terasa memecah belah.
Cuitan Ruhut hanya salah satu dari banyak peristiwa politik yang terindikasi rasis. Lainnya, tak terbilang banyaknya ujaran kebencian, provokasi SARA, dan sejenisnya lalu lalang di hadapan kita, merusak hubungan sosial kultural masyarakat Indonesia yang lama dan sudah susah payah dibangun. Sayangnya, pentas politik nasional gagal menghadirkan sosok pemersatu. Kita tidak melihat ada tokoh bangsa yang menjadi panutan oleh kubu-kubu politik yang berseteru. Tokoh agama yang terkadang mengambil alih peran ini, malah dibunuh karakternya oleh buzzer-buzzer politik.
Buzzer-buzzer politik kini sangat meresahkan. Sampah politik ini seolah dibiarkan dan bahkan diduga sengaja dirawat dan dibiayai bahkan diduga kuat mengalir dana APBN untuk keperluan tersebut. Pada acara Halal Bihalal HMI MPO, Bang Rizal Ramly memiliki sebuah pertanyaan yang disampaikan kepada pemerintah “berapa besar alokasi dana yang digunakan untuk memecah belah ormas, termasuk organisasi kemahasiswaan hingga menghasilkan Partai Mahasiswa?” Kehadiran buzzer membuat politik semakin dalam membelah masyarakat. Alhasil, segregasi kian menebal, kohesivitas sosial terganggu.
Cuitan politik bernada rasis, SARA, atau ujaran kebencian adalah gejala paceklik literasi politik. Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Dengan begitu, literasi politik adalah kemampuan membangun kesadaran politik baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap seseorang untuk melek secara politik.
Politik bukan saja tentang kekuasaan semata. Politik juga menyangkut hak politik seseorang termasuk menyangkut pendidikan politik itu sendiri. Dan pendidikan politik tidak hanya diperoleh melalui buku, tetapi juga pengamatan. Artinya, generasi muda belajar politik juga dari sepak terjang para politisi. Namun, Kalau pelaku politik nasional saja miskin literasi politik, lalu bagaimana dinamika politik kita mencerdaskan rakyat? Bagaimana mungkin minat politik generasi muda tumbuh dan mekar, sementara narasi-narasi pemecah belah telah begitu rakus mendegradasi martabat politik?
Di lain pihak, ketika ada anggota masyarakat yang mengajukan kritik dengan data, malah dianggap pencemaran nama baik dan jadi tersangka. Perseteruan Menteri Koordinator, Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, adalah contohnya. Sejumlah politisi meminta Fatia dan Haris meminta maaf kepada Luhut. Namun, keduanya bergeming. Mereka setuju meminta maaf asalkan pihak luhut membeberkan data tandingan yang membantah hasil riset mereka.
Situasi itu menunjukkan, iklim politik kita memang sedang tidak sehat. Jauh hari, kita semua harus menyadari ini, wabil khusus pemerintah. Atau, jangan-jangan pemerintah malah menikmati kerontangnya literasi politik rakyat?
Wallahu a’lam bish shawab