Penembak 6 Laskar FPI Bebas, Abdullah Hehamahua: Harusnya Mereka Dihukum Mati
Cibubur, Rasilnews – Dua polisi terdakwa kasus penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (18/3). Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua geleng-geleng kepala. Menurutnya, terdakwa seharusnya dihukum mati.
Abdullah menjelaskan, tuntutan jaksa penuntut umum enam tahun penjara kepada dua terdakwa, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella saja sudah jauh dari keadilan, apalagi malah dibebaskan.
“Saya lihat dari segi penuntutan, penuntutan enam tahun penjara itu jauh dari keadilan. Yang terbunuh enam orang, rakyat biasa, tanpa melalui proses peradilan, tanpa melalui proses penyidikan dan penuntutan. Kalau kita berdasarkan hukum Islam yaitu nyawa dibalas nyawa, tangan dibalas tangan, mata dibalas mata, berarti seharusnya mereka dihukum mati,” ujar Abdullah dalam wawancara Topik Berita Radio Silaturahmi 720 AM edisi Jumat (18/3).
Namun jika hukum Qisas dalam Islam tadi diterapkan, lanjutnya, akan ada orang-orang yang memprotes, karena negara Indonesia bukan negara Islam.
Padahal di pasal 29 ayat 1 UUD 1945, Abdullah menjelaskan, Indonesia merupakan negara tauhid dan untuk kebebasan melaksanakan syariat agama tertulis dalam pasal yang sama ayat 2.
“Tapi pasal 29 ayat 1 UUD 1945, Indonesia adalah negara tauhid yang kemudian dilaksanakan dalam bentuk syariat pada pasal 29 ayat 2,” jelas Abdullah dalam wawancara yang dipandu oleh Ichsan Thalib itu.
Ia pun menyebut, bahwa hukum Indonesia merupakan perpaduan antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum Eropa. Sehingga menggunakan hukum Islam untuk menegakkan keadilan tidak bisa disalahkan.
Sesuai pasal 29 ayat 1 dan UUD 1945, kata Abdullah seharusnya jaksa penuntut umum menuntut hukuman mati kepada terdakwa. Lalu, sesuai dengan pasal 29 ayat 2, pelaku harus minta maaf kepada keluarga korban. Jika dimaafkan, pelaku bisa terhindar dari hukuman mati, namun tetap harus dipenjara dan membayar uang kerohiman (uang ganti rugi) kepada keluarga korban.
“Jika mengikuti pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945, maka pertama jaksa penuntut umum harus menuntut hukuman mati. Sesuai dengan pasal 29 ayat 2, terdakwa atau pelaku minta maaf pada keluarga korban, kalau keluarga korban memaafkan maka tidak dihukum mati tapi dipenjara beberapa tahun dan harus membayar uang kerohiman. Selain melaksanakan ajaran Islam tapi juga didukung oleh UUD 1945,” jelas Abdullah.
Selain itu, Abdullah juga mengomentari alasan pengacara dari dua terdakwa itu yang menyatakan bahwa mereka tidak bersalah. Jika benar, kata Abdullah, seharusnya pengacara menyebutkan siapa pelaku sebenarnya.
“Sehingga kedua polisi (yang terdakwa) tersebut dibebaskan, agar pelaku sebenarnya dapat dibawa ke pengadilan. Sehingga hukum, kebenaran, dan keadilan dapat ditegakkan,” ucap Abdullah.
Abdullah kecewa dengan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini, karena dinilai tidak sesuai dengan tujuan hukum.
“Tujuan hukum itu pertama agar terwujudnya kepastian hukum, kedua untuk menegakkan keadilan. Nah sekarang bagaimana keadilan bisa ditegakkan jika enam orang dibunuh tanpa melakukan kesalahan dan pelakunya hanya dijatuhi hukuman enam tahun penjara, bahkan malah dibebaskan,” terang Abdullah.
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Fikri Ramadhan dan M Yusmin Ohorella, dua polisi yang menembak empat laskar FPI pada Jumat, 18 Maret 2022.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman pidana 6 tahun penjara. Jaksa menuntut kedua polisi itu dengan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella didakwa karena menembak empat anggota FPI setelah pengejaran yang berakhir baku tembak di di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50. Kuasa hukum keduanya, Henry Yosodiningrat, mengatakan penembakan terpaksa dilakukan sebagai tindakan membela diri karena empat anggota FPI melawan saat ditangkap.