Jakarta, Rasilnews – Permintaan Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPD Partai Demokrat Jakarta, Taufik Tope Rendusara, agar Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU) memicu respons dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Tony Rosid, pengamat politik dan pemerhati bangsa, yang menyampaikan pendapatnya dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim, Rabu (11/12/24).
Tony menilai bahwa permintaan PSU tersebut sebaiknya didasarkan pada kajian yang matang dan sesuai dengan aturan hukum. “Permintaan Taufik kepada KPUD untuk mengulang pemungutan suara karena partisipasi rendah itu perlu dicermati. Angka partisipasi 46%, hampir 47%, memang menjadi perhatian, tetapi itu bukan alasan untuk serta-merta menggugat legitimasi pemilu. Kita punya aturan hukum yang jelas, ada Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. Kalau aturannya tidak dilanggar, maka proses pemilu itu sah,” ujar Tony.
Tony mengingatkan bahwa semua pihak harus mematuhi aturan hukum yang berlaku. “Misalnya, di daerah lain, calon kepala daerah dengan suara hanya 25% pun tetap bisa menang jika sesuai aturan. Kalau mau mengubah mekanisme, ya ubah dulu undang-undangnya. Misalnya, menetapkan partisipasi minimal 75% sebagai syarat sahnya pemilu. Tanpa itu, pemilu tetap berjalan sesuai ketentuan,” tegasnya.
Tony juga menyoroti besarnya anggaran yang diperlukan untuk menyelenggarakan PSU. “Kalau anggaran pilkada sebesar itu dialokasikan untuk hal lain, seperti membeli kerupuk, dampaknya tentu lebih terasa bagi masyarakat. Jadi, mari kita bijak dalam membuat narasi,” tambahnya.
Tony memperingatkan risiko konflik jika Pemungutan Suara Ulang (PSU) dilakukan tanpa alasan yang kuat. Menurutnya, hasil pemilu DKI menjadi sorotan nasional karena tingkat antusiasme masyarakat Jakarta yang tinggi terhadap proses politik. “Jika keputusan pengadilan memerintahkan PSU, dampaknya akan luas. Mobilisasi besar-besaran dari dua kubu akan terjadi, terutama kelompok pendukung fanatik calon tertentu. Jakarta akan menjadi arena pertarungan politik yang rawan memicu kegaduhan,” jelas Tony.
Lebih lanjut, Tony menekankan pentingnya kepercayaan publik terhadap proses hukum dan lembaga penyelenggara pemilu. “Kalau ada manipulasi atau intervensi dalam proses ini, kepercayaan publik kepada tokoh-tokoh politik akan menurun. Apalagi jika hasil PSU berbeda dari hasil awal, tuduhan intervensi istana akan mencuat. Ini bisa memicu ketegangan politik yang berlarut-larut,” kata Tony.
Tony juga menjelaskan prosedur hukum terkait gugatan hasil pilkada. Menurutnya, paslon memiliki waktu tiga hari setelah pengumuman hasil rekapitulasi untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Hak konstitusional ini harus dihormati. Jika MK menerima gugatan dan memutuskan PSU di sejumlah TPS, maka perlu dipastikan apakah hasil PSU itu akan memengaruhi hasil keseluruhan. Jika tidak ada bukti kecurangan atau dampak signifikan, gugatan akan ditolak,” ungkapnya.
Di akhir Dialog, Tony mengajak semua pihak untuk berpikir bijak dan berorientasi pada kepentingan bangsa. “Kawan-kawan di ranah publik harus lebih berhati-hati dalam membuat narasi. Hitung dampak politik dan sosialnya. Jangan karena calon yang didukung kalah, lalu mencari-cari alasan. Mari kita cerdas dan bijaksana,” pungkas Tony. (Syifa/ Mhs PKL STAI AlFatah/ Abi Agus)