Cibubur, Rasilnews – Jakarta kembali menjadi panggung politik nasional yang penuh intrik. Persaingan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan periode 2017–2022 terus memanas, memunculkan isu-isu baru yang menarik perhatian publik. Dalam Dialog Topik Berita radio Silaturahim, Senin (27/11/24), Nuim Khaiyath, Jurnalis Radio Senior yang kini bermukim di New Zealand, mengungkap pandangannya terkait dinamika politik ini, dengan menyebut adanya “dendam politik” Jokowi terhadap Anies.
Nuim menyinggung janji-janji Jokowi selama masa kampanyenya, termasuk janji untuk beristirahat di Solo setelah masa jabatannya. Namun, munculnya Jokowi dalam berbagai dinamika politik belakangan ini justru dinilai sebagai upaya untuk mengimbangi atau bahkan menghambat langkah Anies.
“Kalau Anies bela A, Jokowi bela B. Kalau Anies bela B, Jokowi bela A. Ini kelihatan seperti strategi untuk menunjukkan siapa yang paling berkuasa di Indonesia,” ujar Nuim.
Ia juga mengaitkan pernyataannya dengan Pilkada DKI Jakarta 2017, yang menjadi salah satu momen politik paling kontroversial. Dalam pilkada tersebut, Anies Baswedan berhasil mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang didukung oleh Jokowi dan jajaran kekuasaan kala itu. Kekalahan tersebut, menurut Nuim, dianggap sebagai pukulan telak bagi Jokowi.
“Dosa terbesar Anies, kalau kata Jusuf Kalla (JK), adalah mengalahkan Ahok. Padahal, waktu itu seluruh kekuatan ‘duniawi’ dikerahkan untuk mendukung Ahok, tapi tetap saja kalah. Kekalahan ini membuat Jokowi makan tidak sedap, tidur pun tak nyenyak,” imbuh Nuim.
Ia juga menyoroti langkah-langkah Jokowi yang dinilai sebagai bentuk pembalasan dendam, termasuk dalam pemilihan calon-calon kepala daerah di beberapa wilayah, seperti Jawa Tengah dan Jakarta.
“Rupanya dendam ini sangat mengganggu pikirannya. Jokowi seperti ingin menunjukkan bahwa dia masih memegang kendali penuh. Sandiwara ini menarik untuk kita ikuti ke depannya,” kata Nuim menutup analisanya.
Nuim menegaskan bahwa persaingan politik ini menunjukkan bagaimana dua tokoh besar Indonesia membawa pengaruh mereka ke tingkat yang lebih tinggi, memengaruhi arah perpolitikan nasional dan mungkin masa depan bangsa,”Apakah ini hanya strategi politik atau benar-benar persoalan dendam pribadi, waktu yang akan menjawabnya,” tutupnya.