Artikel Republika
PERISTIWA Thaif menjadi monumen kelembutan Nabi Muhammad ﷺ dalam mewariskan dakwah yang penuh rahmat. Peristiwa itu terjadi tiga tahun sebelum hijrah. Rasulullah ﷺ melakukan perjalanan ke Thaif untuk mengajak Kabilah Tsaqif, penguasa Thaif, guna meminta pertolongan dan perlindungan. Perjalanan ini dilakukan tidak lama setelah wafatnya Siti Khadijah dan Abu Thalib, pelindung utama yang juga paman Rasulullah ﷺ.
Seperti dikutip dari Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah ﷺ disarikan dari kitab Ar-rahiqul Makhtum, di tahun ke-10 kenabian, bulan Syawal, Rasulullah ﷺ didampingi oleh Zaid bin Haritsah berangkat menuju Taif. Setiap kali beliau melewati suatu perkampungan, beliau sampaikan dakwah Islam kepada mereka. Namun tidak ada satu pun yang menerimanya. Setibanya di Thaif, Rasulullah ﷺ menemui tokoh-tokoh Tha’if untuk menyampaikan dakwah Islam kepada mereka, namun mereka menolaknya mentah-mentah.
Rasulullah ﷺ menetap di Taif selama 10 hari, tetapi setiap kali dia mendatangi tokoh-tokoh di kota tersebut, mereka justru mengusirnya. Bahkan lebih dari itu, mereka memprovokasi masyarakat awam untuk menyerang Rasulullah ﷺ dan mencaci makinya, bahkan mereka mengejar-ngejar dan menimpuki Rasulullah ﷺ hingga kaki beliau berdarah-darah. Sementara itu Zaid bin Haritsah berusaha melindunginya dengan dirinya sendiri, hingga dia sendiri terluka di kepalanya. Masyarakat Thaif baru berhenti mengejarnya setelah keduanya berlindung di kebun milik ‘Utbah dan Syaibah anak Rabi’ah, sekitar 3 mil dari kota Thaif.
Rasulullah ﷺ mendekati pohon anggur dan duduk di bawah naungannya. Di sana beliau mengadukan segala kegundahan dan kesedihan yang dialaminya: “Ya Allah, kepadamu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya siasatku dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai yang Paling Pengasih dari pemilik kasih. Engkau adalah Tuhan bagi orang-orang lemah, Engkaulah Tuhan-ku, kepada siapa engkau akan serahkan aku?, kepada yang jauh nan bermuka masam?, atau kepada musuh yang akan menguasai urusanku?. Asal Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli (terhadap apa yang menimpaku), namun ampunanmu lebih luas (lebih kuharapkan) untukku, Aku berlindung dengan cahaya Wajah-Mu yang karenanya kegelapan menjadi terang benderang, urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemarahan-Mu kepadaku, atau murka kepadaku. Engkau-lah yang berhak menegurku hingga Engkau rela dan tidak ada daya dan kekuatan selain dengan-Mu.”
Melihat keadaan Rasulullah ﷺ dan Zaid, timbul rasa kasihan pada diri kedua anak Rabi’ah. Lalu mereka panggil budaknya bernama Addas yang beragama Nashrani untuk memetikkan setangkai anggur dan memberikannya kepada Rasulullah ﷺ. Addas memetiknya lalu memberikan kepadanya. Rasulullah ﷺ menerimanya, lalu membaca Bismillah sebelum memakannya. Mendengar bacaan basmalah, Adas berkomentar: “Itu adalah ucapan yang bukan berasal dari penduduk negeri ini”. Rasulullah pun bertanya kepada Addas, “Dari negeri mana anda? dan apa agama anda?”
“Saya dari negeri Ninu,” jawab Addas. ”Itu adalah kampung seorang laki-laki yang shaleh, Yunus bin Matta”, kata Rasulullah ﷺ. “Dari mana kamu tahu tentang Yunus bin Matta?” tanya Adas keheranan. “Dia adalah saudaraku, Dia dahulu seorang Nabi dan akupun seorang Nabi,” jawab Rasulullah ﷺ. Langsung saja Addas mencium kepala Rasulullah ﷺ, juga kedua tangannya dan kakinya. Addas segera mendatangi kedua tuannya dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa?”, tuannya keheranan. “Ya tuanku, tidak ada di atas muka bumi ini orang yang lebih baik dari dia. Dia telah menyampaikan kepada saya perkara yang hanya diketahui oleh seorang nabi”, kata Addas. Celaka engkau Addas, jangan kau tinggalkan agamamu, agamamu lebih baik dari agama orang itu”, bentak tuannya.
Dengan kesedihan yang mendalam Rasulullah ﷺ kembali menuju Mekkah. Di tengah perjalanan, Allah Ta’ala mengutus malaikat Jibril bersama malaikat gunung yang siap menunggu perintah Rasulullah ﷺ untuk membalikkan kedua gunung di Mekkah agar ditimpakan kepada penduduk Thaif. Namun Rasulullah ﷺ hanya menjawab: “Justru saya berharap, Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka, keturunan yang menyembah Allah Azza wa Jalla semata dan tidak menyekutukan-Nya” Akhirnya Rasulullah ﷺ kembali ke Mekkah dengan mendapatkan perlindungan dari al-Muth’im bin ‘Adi.
Demikianlah ketabahan Rasulullah ﷺ dalam berdakwah. Perlakuan buruk dan kasar tidak menjadikannya dendam dan mengharapkan kehancuran bagi umatnya.
Wallahu a’lam bish-shawab