Hikmah Republika, Oleh: Aunur Rofiq
IBNU al-Arabi mengatakan bahwa dia mendengar kabar kalau Sufyan Tsauri menyatakan, “Ada lima macam manusia yang paling mulia di dunia ini: ulama yang hidup mencukupkan diri dengan yang sedikit untuk kebutuhan hidupnya, seorang hakim yang sufi, seorang kaya yang rendah hati, seorang miskin yang bersyukur, dan seorang bangsawan yang mengikuti sunah Rasulullah ﷺ.”
Mengenai ulama yang sedikit kebutuhan akan menyelamatkannya dari kehinaan. Kebutuhan yang besar atau banyak menyebabkan seseorang berpayah-payah untuk memenuhi, sedikit lalai ia akan mendapatkannya dengan segala cara termasuk yang dilarang. Merasa cukup dengan pemberian Allah adalah akhlak yang sangat terpuji bagi ulama.
Mengenai hakim yang sufi. Keadilan merupakan dambaan setiap orang yang mengalami perselisihan. Jika seorang hakim yang memutuskan suatu perkara dengan adil, dia berakhlak mulia. Tugas tersebut tidaklah mudah jika yang diperselisihkan menyangkut penguasa, pengusaha, dan pihak-pihak yang mempunyai kekuatan.
Allah SWT berfirman dalam Alquran surah al-Maidah ayat 8 mengenai perilaku jujur dan adil. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”
Seorang hakim yang berlaku adil tentu ada risiko lahiriah, apakah itu berupa ancaman, pemindahan tempat kerja, dan lainnya. Namun, dengan keteguhan imannya dan berserah diri kepada Allah SWT, semua risiko itu menjadi tidak berarti. Kondisi saat ini, godaan yang menimpa seorang hakim sangat berat. Ia bisa ikut dalam permainan kasus, mereka bekerja sama dengan orang-orang yang bekerja sebagai “makelar kasus”.
Yahya bin Mua’adz mengatakan, “Kerendahan hati adalah sifat yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi seorang yang kaya. Kesombongan adalah sifat yang menjijikkan bagi setiap orang, tetapi ia paling menjijikkan jika terdapat pada orang yang miskin.”
Seseorang yang berkuasa dan bersikap tawadhu adalah pemimpin yang patut dijadikan contoh. Hal ini telah dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Kisahnya adalah Urwah bin az-Zubayr yang menuturkan, “Ketika aku melihat Umar bin Khattab memikul sekantong besar air di atas pundaknya, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini tidak patut bagi Anda.’ Beliau menjawab, ‘Ketika para utusan datang kepadaku, mendengarkan dan menaatiku, suatu perasaan sombong merasuk ke dalam hatiku, dan kini aku ingin menghancurkannya.’ Beliau terus memikul air itu dan membawanya ke rumah seorang wanita Anshar dan mengisikannya ke dalam gentong milik wanita itu.”
Inilah perilaku dan sikap kerendahan hati seorang pemimpin yang takut ada kesombongan dalam hatinya, tentunya para pemimpin ini telah meneladan sikap junjungannya Rasulullah ﷺ. Dalam kehidupan kekinian, contoh sikap tersebut masih miskin diimplementasikan.
Bersyukur dalam kesempitan memerlukan upaya lebih, jika dibandingkan bersyukur dalam kelapangan. Oleh karena itu, orang miskin yang selalu bersyukur apa saja yang diberikan-Nya dan sadar bahwa itu merupakan kehendak-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, diriwayatkan oleh Muslim dari Usamah bin Zaid, “Aku berdiri di depan pintu surga, dan ternyata sebagian besar yang memasukinya adalah orang-orang miskin. Sementara orang-orang kaya ditahan di luar, kecuali para penghuni neraka yang langsung diperintahkan Allah SWT untuk digiring ke neraka.”
Oleh sebab itu, untuk menjadi golongan manusia mulia seperti yang dikatakan Sufyan Tsauri, jika sebagai ulama jadilah yang berkebutuhan sedikit. Jika sebagai hakim jadilah pemutus yang adil. Jika menjadi orang kaya maupun penguasa bersikaplah rendah hati. Jika menjadi miskin maka bersyukurlah. Dan jika mempunyai nasab bangsawan, ikutilah sunah Rasulullah ﷺ.
Semoga upaya kita dan para pemimpin negeri menuju golongan itu diberikan jalan oleh Allah SWT dan selalu diberi bimbingan dan petunjuk-Nya.***
Wallahu a’lam bish-shawab