Soroti Kasus Ronald Tannur di MA, Ahli Hukum: Semua Lembaga Hukum Terlibat Suap

Bekasi, Rasilnews – Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Suparman Marzuki menyoroti kasus Ronald Tannur yang menyeret mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar sebagai terduga pelaku dan penerima suap.

“Apa yang terjadi di kepolisian, di kejaksaan, di dunia kekuasaan kehakiman, satu di antara yang paling mencolok adalah fenomena suap atau gratifikasi, semua lembaga penegak hukum tanpa terkecuali,” katanya dalam siaran Topik Berita Radio Silaturahim 729 AM di Bekasi, pada Senin (28/10).

Suparman menyatakan, sejak awal Indonesia merdeka, hukum di negara ini tidak pernah benar-benar ditegakkan. Padahal, hukum merupakan salah satu elemen penting dan merupakan pondasi bernegara.

“Salah satu elemen penting pondasi bernegara adalah hukum. Masalah serius kita, hukum itu tidak pernah dibenahi, tidak pernah sungguh-sungguh ditegakkan, tidak pernah benar-benar dibangun sebagai pondasi bernegara sejak Indonesia merdeka hingga hari ini,” ujar Ketua Komisi Yudisial 2013-2015 itu.

“Ini (hukum) salah satu elemen yang terbengkalai sedemikian rupa, tidak pernah diurus apalagi dibangun. Bahkan di sana-sini terjadi pengrusakan, pelemahan, dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Pergantian presiden dari waktu ke waktu, tidak ada signifikansinya dalam upaya membangun pondasi bernegara yang paling penting di dunia ini yaitu hukum,” tambahnya.

Suparman mengatakan, lembaga hukum saat ini termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) pun sudah tidak bisa diharapkan.

“Dulu kita berharap kepada KPK, KPK pun sudah luluh lantak, kita berharap pada Mahkamah Konstitusi, tapi Mahkamah Konstitusi pun sudah hancur. Tidak ada sejarah di dunia ini negara bisa besar, damai, tentram, sejahtera kalau hukumnya diabaikan. Kalau yang dirusak itu ekonomi atau sistem politik, jauh lebih mudah membenahinya dibandingkan dengan merusak sistem hukum kita butuh waktu yang tidak bisa kita perkirakan lamanya. Eropa itu butuh waktu 2000 tahun untuk membangun hukumnya, lah kita ini belum pernah memulai sama sekali,” jelasnya.

Oleh karena itu, Suparman menilai kasus yang terjadi di MA saat ini hanyalah sebagian kecil dari polemik yang terjadi di lembaga hukum Tanah Air.

“Jadi apa yang terjadi di Mahkamah Agung hanya satu bagian kecil saja di dunia kehakiman kita. Peristiwa ini sebetulnya seperti gunung es. Ada banyak orang yang seperti pelaku ini, dia (Zarof Ricar) salah satu aktor utamanya,” katanya.

“Saya sudah tahu dia sejak 2012. Sudah saya katakan kepada dengan berbagai pihak, tolong dicermati si A, si B, si C, si D di Mahkamah Agung dan di luar MA tapi itu hanya angin lalu bagi mereka bahkan saya dilaporkan di kepolisian,” sambungnya.

Menurut Suparman, persoalan tersebut merupakan indikasi bahwa para penguasa memang menghendaki kehancuran hukum di negeri ini.

“Ini indikasi bahwa memang tampaknya para penguasa, para pengusaha memang menghendaki kehancuran ini, menghendaki situasi disorder penegakan hukum, disorder sistem hukum. Karena dalam disorder ini, di situlah para pemain hukum, pemain ekonomi memainkan peran-perannya dalam rangka kepentingan mereka,” ujarnya.

“Kalau semuanya tertib, tidak mungkin bisa mereka lakukan. Dalam teori ekonomi, ketika terjadi disorder maka bayang-bayang ekonomi atau shadow economy bekerja. Shadow economy itulah gratifikasi, suap, penyelundupan, pencucian uang. Shadow economy yang jauh lebih besar peredarannya dibanding APBN kita. Kalau kita tertib hukum, shadow economy ini tidak akan berjalan,” pungkasnya.

Kejaksaan Agung menetapkan mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung, Zarof Ricar, sebagai tersangka. Zarof diduga menerima suap dari Lisa Rahmad, pengacara Ronald Tannur, dalam penanganan kasus pembunuhan Dini Sera di tingkat kasasi.

Zarof Ricar diduga menerima uang suap sebesar Rp5 miliar dalam bentuk pecahan uang asing dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmad. Suap ini untuk tetap menyatakan Ronald Tannur tak bersalah pada tingkat kasasi. Di rumah Zarof, penyidik menemukan uang tunai dalam beberapa pecahan mata uang dan emas seberat 51 kilogram yang nilainya mencapai Rp996 miliar atau hampir Rp1 triliun.

Kejaksaan Agung menyebut mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, diduga sudah menerima gratifikasi sejak 2012 dari pengurusan beberapa perkara.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *