Ulama dan Nahi Munkar

KEMUNGKARAN merupakan perbuatan yang bertentangan dengan aturan Allah SWT. Perbuatan yang bertentangan dengan aturan Allah itu jika dilakukan akan merugikan orang lain dan juga merugikan diri sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita saksikan berbagai kemunkaran yang merugikan orang lain dan diri sendiri seperti korupsi, kolusi, merampok, judi, memperkosa, membunuh, minum-minuman keras, dan lain sebagainya.

Coba kita perhatikan, bagaimana akibat korupsi dan kolusi, miliaran bahkan triliunan rupiah uang rakyat hilang, dan akhirnya seperti yang tengah bergulir sekarang ini, mereka para pejabat yang melakukan korupsi dan kolusi mulai merasakan akibat perbuatannya. Ada yang sudah ditangkap dan diadili pelakunya, ada juga yang tengah digugat rakyat dan yang sedang dalam penyelidikan. Akibat merampok, tak terhingga jumlahnya harta, benda, dan hak milik orang terampas, ratusan jiwa teraniaya dan dibunuh. Belum lagi akibat-akibat kemunkaran lainnya. Semua itu belum termasuk balasan di hadapan Allah SWT di akhirat nanti. Naudzubillah.

Oleh sebab itu tindakan kemungkaran merupakan perbuatan yang mutlak harus diberantas. Umat harus berperan dalam ibadah nahi munkar, menolak segala bentuk perbuatan merugikan, mencegah dosa, menolak kekerasan, serta membantu menghentikan kejahatan. Masyarakat akan rusak, jika meninggalkan nahi munkar, rusak peradabannya, tidak beretika dan beradab.

Namun ada hal yang perlu kita cermati dari perkataan Imam al-Ghazali, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (kitab Ihya’ Ulumuddin).

Ulama, bukan sebuah profesi. Namun, wujud ulama merupakan amanah dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Amanah adalah kemampuan untuk menjaga dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Karena itu, aktifitasnya bisa terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat; ekonomi, soaial, politik, budaya dan bidang lainnya. Amanah, salah satunya dipraktikkan dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Menebar kebaikan, mencegah kemunkaran. Di sini, ulama tidak boleh diam. Dan haram mendiamkan kemunkaran. Persoalan besar sekarang, seruan ma’ruf telah banyak. Tapi masih minim peringatan terhadap yang munkar. Sehingga kerusakan makin mudah menyebar. Imam Ibnu Hajar meriwayatkan hadis Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika telah nampak fitnah agama, maka orang berilmu (alim) wajib menampakkan ilmunya” (HR. al-Hakim).

Biasanya, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Maka dari itu, ada ulama yang mengatakan kewajiban nahi munkar harus lebih dibebankan kepada ulama. Allah SWT berfirman: “Hendaklah di antara kalian ada segolongan umat yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan Merekalah termasuk orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

Ulama juga berperan sebagai alat menyebar kepentingan Islam dan kaum Muslimin, memberi keadilan, dan menjaga kesejahteraan ruhani. Ulama harus menjadi rujukan dan diminta pandangannya tentang kepentingan agama dan bangsa. Menunjukkan kewibawaan ilmunya, bukan tunduk kepada kepada penguasa. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama, juga harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat tauhid dan adab kepada pemimpin.

Ketika penguasa menghambat kepentingan kaum Muslimin bahkan menjadi pemicu kemunkaran, ulama haram untuk berdiam diri. Para ulama, harusnya mengingat lekat perkatan Ibnu Hajar, bahwa siapa saja yang diam ketika kemungkaran meluas, maka laknat Allah, Malaikat dan manusia seluruhnya akan melaknat dia (kitab al-Shawaiq al-Muhriqah). Ulama yang hubbuddunya merupakan orang yang fasik. Menurut imam al-Ghazali, seorang “ulama” yang fasik lebih berbahaya daripada seorang awam yang maksiat. “Ulama” yang fasik disebut dengan “ulama jahat” (ulama suu’). Cirinya, menjual ilmu dengan harta.

Parameternya bukan ilmu, tapi duniawi. Jika ada kemungkaran dibiarkan. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan umat pada kerusakan, mencerai-beraikan masyarakat, dan bangsa. Cirinya, mereka selalu memuji-muji penguasa secara tidak wajar walaupun penguasa itu rusak moral, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi.

Wallahu‘alam bishshawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *