Cibubur, Rasilnews – Setahun setelah operasi Taufan Al Aqsa, peperangan antara pejuang Palestina dan Israel belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Alih-alih tercipta perdamaian, yang terjadi justru sebaliknya—perang tampaknya akan terus berlarut-larut, terutama dengan munculnya front baru, yaitu konflik antara militer Zionis Israel dan militer Hizbullah di Lebanon.
Dalam program Dialog Topik Berita di Radio Silaturahim, Selasa (08/10) pengamat ekonomi dan politik, Ichsanudin Noersy, menyoroti genosida yang terjadi di Gaza setahun terakhir. Ia mengecam keras tindakan brutal yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina, menyebutnya sebagai tindakan kebuasan dan kebengisan yang tidak berperikemanusiaan.
Menurut Noersy, media arus utama barat cenderung bias dalam melaporkan konflik tersebut. Ia mengungkapkan, “Bayangkan Israel, ini dalam pemberitaan media mainstream, yang dari segi jumlah korban, Israel cuma 1200, sementara Hamas 42.000. Namun yang menarik adalah media barat tetap menuding Hamas sebagai teroris, meski kenyataannya pembantaian dilakukan secara masif oleh Israel.”
Noersy juga menyoroti pernyataan sejumlah pemimpin dunia yang mendukung Israel. Ia mengutip pernyataan Perdana Menteri Inggris yang menyatakan bahwa meskipun ia tidak setuju dengan tindakan militer, ia mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri. Hal ini, menurut Noersy, merupakan bentuk legitimasi atas tindakan brutal Israel, yang semakin memperburuk situasi di wilayah tersebut.
Noersy menggambarkan betapa dunia sedang dipertontonkan dengan tindakan keji yang dilakukan oleh Israel, yang terus meneriakkan hak asasi manusia, namun pada saat yang sama melakukan pendudukan dan pembantaian. “Ini punya desepsi, pendudukan mereka anggap sebagai sebuah hak, pembantaian genosida dinikmati sebagai kepantasan, istilah saya,” katanya. Ia juga menambahkan bahwa meskipun enam negara besar, termasuk Prancis, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat, terus meminta gencatan senjata, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak menghiraukannya.
Ichsanudin Noersy juga menyinggung soal kekuatan militer Israel yang luar biasa, yang mampu menyerang beberapa negara sekaligus, seperti Lebanon, Palestina, dan Suriah. Namun, ia mengingatkan bahwa perlawanan kecil seperti yang dilakukan Hamas dan Hizbullah menunjukkan bahwa kekuatan militer besar bisa dikalahkan. “Hamas, meski kelompok kecil seperti Hizbullah, mampu menunjukan perlawanan. Ini bukti bahwa walaupun ketangguhan militer Israel begitu menakutkan, ada kekuatan lain yang bisa mengimbanginya,” ujarnya.
Menurut Noersy, apa yang sedang terjadi merupakan pelajaran penting bagi dunia bahwa kekuatan militer tidak boleh dijadikan panutan. Ia menyatakan bahwa Israel dan sekutunya telah mempertontonkan perilaku semena-mena yang melampaui batas-batas kemanusiaan. Dalam hal ini, negara-negara di dunia, termasuk negara-negara besar, tidak mampu berbuat apa-apa, tunduk pada kehendak kekuatan-kekuatan besar tersebut.
Noersy juga menyerukan agar dunia tidak hanya memboikot produk-produk dari Israel dan negara-negara yang mendukungnya, tetapi juga memboikot sistem yang digunakan oleh negara-negara tersebut. Ia mencontohkan langkah yang telah diambil oleh Cina dan Rusia yang mulai meninggalkan sistem pembayaran yang didominasi dolar dan neo-liberal. “Cina sudah memboikot sistem dengan meninggalkan penggunaan dolar dan menciptakan sistem pembayaran sendiri. Ini adalah bagian dari perang sistem ekonomi global,” ungkap Noersy.
Ia menambahkan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina sejak 2008 kini telah berkembang menjadi perang sistem ekonomi dan teknologi, serta merambah ke konflik militer. Menurutnya, perkembangan ini semakin mempertegas dominasi kekuatan materialisme yang dikejar oleh negara-negara besar. “Dunia tunduk pada materialisme, dan puncak dari materialisme itu adalah perilaku yang dipuja-puja oleh setan,” tegasnya.
Dirinya juga menyoroti ketergantungan Indonesia dan banyak negara lain pada teknologi asing. Ia menggambarkan bagaimana frekuensi dan teknologi informasi yang seharusnya diberkahi oleh Allah untuk kebaikan, kini justru digunakan oleh Israel sebagai alat untuk menyerang musuh-musuhnya. Ia menyebut serangan frekuensi ini sebagai bentuk “panah modern,” di mana setiap orang yang menggunakan teknologi seperti ponsel dan perangkat komunikasi lainnya bisa menjadi target.
“Kita tidak berdaya karena kita mengimpor hampir semua kebutuhan—dari modal, teknologi, pangan, hingga energi. Ini adalah tantangan besar bagi kita untuk membangun kedaulatan bangsa, khususnya di bidang teknologi,” pungkas Noersy.
Dalam Dialog kali ini, Kritik tajam dari Ichsanudin Noersy terhadap ketidakadilan global yang terjadi di Palestina, serta pentingnya sikap proaktif dari negara-negara dunia untuk melawan dominasi sistem yang telah menciptakan ketimpangan dan kekejaman di panggung internasional.