Pelantikan Anggota DPR, Toni Rosyid : Apa yang Bisa Diharapkan?

Cibubur, Rasilnews – Dalam “Dialog Topik Berita” di Radio Silaturahim Rabu (02/10/24), Tony Rosyid, menyoroti pelantikan lebih dari 580 anggota DPR dan 100 anggota DPD. Rosyid menyampaikan kekhawatirannya terkait efektivitas para anggota legislatif baru dalam menjalankan tugas-tugas mereka, terutama dalam konteks sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang ia sebut “bermasalah.”

Dalam pernyataannya, Tony Rosyid menegaskan pentingnya harapan publik terhadap para anggota dewan baru. “Harapan-harapan itu suatu yang wajar,” ujar Rosyid. Menurutnya, amanah yang diberikan oleh rakyat, adalah harapan tulus yang mesti dijaga.

“Terutama rakyat yang ketika memilih tidak dibayar. Bagi mereka yang ketika memilih ada barter keuangan, mereka tidak peduli,” tegas Rosyid, merujuk pada kondisi di mana pemilihan sering kali disertai dengan transaksi materi yang merusak esensi demokrasi. Ia menambahkan, “Proses pemilihan DPR dan DPRD itu tidak ada transaksi kecuali transaksinya berupa harapan kepada mereka.”

Namun, Rosyid juga menyampaikan bahwa secara realistis, sulit menaruh optimisme penuh terhadap anggota dewan yang baru ini. “Apa yang bisa diharapkan? Tidak ada instrumen yang membuat kita memiliki optimisme untuk menitipkan harapan kepada mereka,” ujarnya dengan nada kritis.

Bagi Rosyid, akar permasalahan tidak hanya terletak pada individu, tetapi lebih pada sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia. Salah satu masalah utama yang ia soroti adalah diperbolehkannya rangkap jabatan, di mana ketua partai politik dapat merangkap sebagai menteri.

“Dulu, kita punya harapan besar di tahun 2014 ketika Pak Jokowi tegas mengatakan tidak ada rangkap jabatan,” kenang Rosyid, merujuk pada janji politik Presiden Jokowi saat kampanye dan sebelum dilantik. Namun, kenyataannya, ketua-ketua partai politik tetap menduduki jabatan menteri, yang kemudian menyebabkan anggota DPR menjadi “anak buah” dari ketua partai mereka.

“Bagaimana sistem ini masih bisa diharapkan agar DPR bersikap kritis dan menjalankan fungsi kontrolnya terhadap pemerintah?” tanya Rosyid retoris. Menurutnya, ketika ketua partai menjadi menteri, sulit bagi anggota DPR untuk bersikap kritis terhadap pemerintah, karena loyalitas mereka diarahkan kepada pimpinan partai, yang pada gilirannya tunduk kepada presiden.

Tony Rosyid juga mengkritisi bagaimana fungsi-fungsi legislatif, seperti budgeting, legislasi, dan kontrol terhadap pemerintah, menjadi lemah dalam sistem saat ini. “Bagaimana bisa DPR mengontrol pemerintah jika ketua umum mereka sendiri adalah bagian dari pemerintahan?” tanyanya. Ia menekankan pentingnya pemisahan yang tegas antara jabatan politik dan eksekutif untuk menjaga integritas DPR sebagai pengawas pemerintah.

Rosyid mencontohkan PKS yang sempat mengkritik pemerintahan SBY meskipun menjadi bagian dari koalisi. “Ketika PKS mengkritik pemerintahan SBY, mengapa mereka tidak keluar saja dari koalisi? Ini menandakan dilema antara mengikuti politik partai atau menjalankan fungsi legislatif yang sebenarnya.”

Lebih jauh, Rosyid juga membahas tentang realitas politik yang semakin pragmatis di Indonesia. “Politik itu harus fleksibel, realistis, dan rasional, tapi makna di balik itu sebenarnya adalah pragmatis,” jelasnya. Menurutnya, sistem politik yang ada telah menggiring masyarakat untuk menerima pragmatisme sebagai norma, bahkan di kalangan partai yang mengaku berideologi dakwah.

“Hitteneren mengatakan, ‘kebenaran adalah kesalahan yang diulang berkali-kali sehingga menjadi biasa, dan kebiasaan itu dianggap wajar, yang akhirnya diterima sebagai kebenaran.’ Ini yang terjadi dalam politik kita,” lanjutnya.

Menanggapi kekhawatiran publik bahwa DPR akan kembali menjadi “tukang stempel” pemerintah, seperti yang terjadi dalam satu dekade terakhir, Rosyid mengungkapkan bahwa hal itu memang akan terjadi lagi. “Tidak usah khawatir, memang akan seperti itu. Apa instrumen yang membuat DPR bisa diharapkan lebih baik dari kemarin?” ujarnya. Ia menegaskan bahwa sistem politik yang ada saat ini tidak memungkinkan perubahan signifikan dalam fungsi DPR.

Dengan demikian, harapan publik terhadap anggota DPR dan DPD yang baru dilantik tampaknya akan terbentur pada kenyataan bahwa sistem politik dan ketatanegaraan yang ada tidak mendukung munculnya parlemen yang kritis dan independen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *