Sabtu, 5 Oktober 2024

Pasca Gugurnya Sekjend Hizbullah, Ichsanudin Noorsy : Blok Barat Beri Pesan Tegas, Melawan Kami Hancurkan

Bendera Hizbullah di lokasi serangan yang menewaskan pemimpin Hassan Nasrallah di pinggiran selatan Beirut, foto pada 29 September 2024. © Hassan Ammar, AP

Cibubur, Rasilnews – Dalam program Topik Berita Radio Silaturahim, Selasa (1 Oktober 2024), Pengamat Ekonomi dan Politik, Ichsanudin Noorsy menggambarkan dinamika geopolitik dunia yang semakin memanas. Dirinya berpandangan perang global yang berkaitan dengan ekonomi, termasuk pengaruh dari kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya. Ichsanudin menjelaskan dengan jelas bagaimana strategi dominasi ini telah berlangsung selama puluhan tahun.

“Sekjend Hizbullah Hasan Nasrullah berhasil dihajar oleh mereka sehingga meninggal. Itu hal menarik, karena mereka ingin menunjukan bahwa serangan-serangan mereka efektif. Barang siapa menyerang mereka, pasti mereka hantam,” tegas Ichsanudin.

Ia menjelaskan bahwa peristiwa ini adalah bagian dari strategi lebih besar yang sudah lama dirancang oleh negara-negara adidaya, terutama Amerika Serikat dan Inggris, yang ingin menegaskan bahwa siapa saja yang menantang mereka akan dihancurkan. Menurutnya, ini bukan hanya soal politik, tetapi pesan global bahwa siapapun yang berani melawan akan menghadapi konsekuensi serius.

Ichsanudin Noersy mengungkapkan bahwa sejak tahun 2004 dan 2008, Amerika Serikat sudah secara terbuka menyebutkan delapan musuh potensial mereka, yaitu Rusia, Cina, Suriah, Korea Utara, Iran, Brasil, dan Afrika Selatan. Kelompok-kelompok yang dianggap sebagai musuh ini, menurutnya, mewakili bangsa-bangsa yang menolak ditindas dan tidak mau menyerahkan tanah mereka begitu saja.

“Terbukti 20 tahun lalu, mereka sudah menetapkan kelompok-kelompok yang mereka anggap teroris, ternyata bisa melakukan perlawanan. Tapi sesungguhnya bukan teroris, melainkan bangsa yang tidak ingin ditindas,” tambahnya.

Ichsanudin juga menyoroti bagaimana beberapa dari kelompok ini, baik secara terbuka maupun diam-diam, mendapatkan dukungan dari delapan negara tersebut. Ini, menurutnya, adalah cerminan dari proxy war atau perang proksi yang berpotensi memicu Perang Dunia Ketiga.

“Perang ini adalah representasi dari perang dunia ketiga yang berjalan duluan. Ini dimulai dari cerita war and terror pada tahun 2001, yang kemudian berlanjut dengan serangan ke Irak,” ungkapnya.

Ichsanudin juga menekankan bahwa Amerika Serikat menggunakan strategi yang disebutnya sebagai “perang untuk ekonomi.” Ini adalah perang yang bertujuan untuk mendominasi dunia secara ekonomi, baik melalui jalur damai maupun peperangan. Menurutnya, Amerika Serikat dan sekutunya meneror dunia dengan slogan “damai untuk ekonomi,” tetapi kenyataannya, upaya mereka lebih banyak mengarah pada konflik dan ketidakstabilan ekonomi global.

“Mereka berhasil tampil sebagai adidaya global karena berhasil meneror dengan war and terror-nya. Namun, beberapa tahun kemudian mereka kalah dalam perang dagang, dan sampai sekarang, kita melihat bagaimana ekonomi menjadi fokus utama. Mereka ingin mendominasi baik dalam format damai maupun perang,” jelasnya.

Ichsanudin juga menekankan bahwa di balik segala konflik ini, sesungguhnya yang menjadi akar permasalahan adalah materialisme, keinginan untuk menguasai sumber daya ekonomi dunia. “Kenapa harus ekonomi? Karena sesungguhnya materialisme ini adalah perlawanan terhadap Tuhan,” ujarnya dengan tegas.

Menariknya, Ichsanudin mencatat bahwa beberapa negara besar, seperti Cina dan India, memilih pendekatan yang berbeda dalam menghadapi tekanan ekonomi dan politik global. Cina, menurutnya, menyadari bahwa mereka menghadapi problematik besar terkait pertumbuhan ekonomi yang cepat, dan jika terjadi perang, hal itu akan mengganggu perkembangan ekonomi yang telah mereka capai.

“India bersikap berbeda. Cina dan India, dengan jumlah penduduk yang besar, lebih memilih bermain di kancah nilai tukar saja. Itu sebabnya mereka kini ribut soal mata uang BRICS,” ujarnya, merujuk pada aliansi ekonomi antara Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan.

Menurutnya, ketegangan di BRICS ini memperlihatkan bagaimana India diiming-imingi oleh Barat untuk tidak bergabung dengan aliansi lainnya, sementara Cina bermain tarik ulur. Hal ini menunjukkan bahwa dunia lebih condong ke arah peperangan daripada perdamaian, yang pada akhirnya berdampak pada ekonomi global.

Ichsanudin juga menyayangkan bahwa banyak media di Indonesia yang tidak membahas peristiwa-peristiwa ini secara menyeluruh. Menurutnya, hanya Radio Silaturahim (Rasil) yang mampu memberikan analisis komprehensif mengenai situasi geopolitik dan ekonomi dunia.

“Tidak ada media di Indonesia yang membahas secara akumulatif, hanya Rasil yang melihat secara menyeluruh, utuh, dan parsial,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dunia sedang menuju hybrid world, sebuah dunia di mana perang ekonomi dan perang fisik berbaur menjadi satu. Menurut Ichsanudin, konsep ini seharusnya menjadi perhatian utama, tetapi sayangnya masih banyak yang memandangnya secara parsial, tidak utuh.

“Kita sedang dihadapkan pada situasi di mana perang ekonomi lebih dominan daripada perdamaian. Dan ini akan mempengaruhi perekonomian global,” tutup Ichsanudin dengan nada serius.

Dalam wawancara ini, Ichsanudin Noersy memberikan gambaran yang jelas tentang dinamika perang global yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga ekonomi. Dengan Amerika Serikat dan sekutunya berusaha mendominasi dunia, negara-negara besar lainnya, seperti Rusia, Cina, dan Iran, bersiap untuk menghadapi ancaman tersebut. Di tengah-tengah semua ini, perang ekonomi menjadi alat utama bagi negara-negara adidaya untuk menjaga kekuasaan mereka. Sebagai salah satu narasumber yang kerap mengangkat isu global ini, Ichsanudin menunjukkan betapa pentingnya melihat peristiwa dunia dengan perspektif yang lebih luas.

By Admin

Mungkin Anda Juga Suka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *