Cibubur, Rasilnews – Dinamika politik Indonesia semakin memanas dalam beberapa pekan terakhir. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru-baru ini muncul telah memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, yang disuarakan melalui demonstrasi di berbagai daerah. Para pendemo, dengan tagar “#Kawal MK,” secara tegas meneriakkan “revolusi” sebagai bentuk ketidakpuasan mereka terhadap keputusan tersebut.
“Kami pantau di media sosial dan media massa, teriakan revolusi terus bergema. Apakah teriakan revolusi ini relevan dengan putusan MK yang menjadi sorotan publik, terutama terkait Pilkada dan gerakan sosial yang semakin besar?” Tanya Penyiar Angga Aminudin ketika memulai Dialog Topik Berita, Selasa (27/08) kepada Ichsanudin Noersy.
“Apakah teriakan revolusi ini relevan dengan putusan MK yang menjadi sorotan publik, terutama terkait Pilkada dan semakin besarnya gerakan sosial masyarakat? Apakah sesuai jika dikaitkan dengan UUD 1945, yang dipertanyakan kembali terkait kaitannya dengan putusan MK, penguasa, dan DPR?,” ungkapnya.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Ichsanuddin Noorsy menjawab semua tergantung bagaimana cara menyikapinya, “Hal ini sangat tergantung pada apakah pertanggungjawaban tersebut dapat diterima atau tidak,” tegas Noersy. Ia menekankan bahwa MK seharusnya menjadi lembaga tertinggi yang menilai apakah seorang presiden telah memenuhi amanat, visi, dan misi konstitusi selama masa jabatannya. Namun, ia mencatat bahwa sistem ini kini dipertanyakan karena dianggap tidak lagi mencerminkan prinsip-prinsip presidensial dan parlementer yang seharusnya.
Dalam analisisnya, Noersy menguraikan bahwa kondisi darurat di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak perubahan UUD 1945 menjadi UUD 2002, yang ia sebut sebagai hasil dari tekanan Washington melalui Carter Foundation. Perubahan ini, menurutnya, dilakukan oleh elemen masyarakat yang pro-liberal, pro-demokrasi, dan pro-neoliberal, yang lebih mengutamakan mekanisme pasar bebas dan individualisme.
“Kesalahan besar Soeharto dalam ekonominya adalah menjalankan liberalisme setengah hati, di mana nepotisme semakin berkembang,” ungkap Noersy.
“Nepotisme kemudian merebak, dimana putra-putri presiden makin berjaya dalam bisnis dan kemudian rakyat menyebut sudah terjadi kolusi dan nepotisme maka teriakan KKN luar biasa itulah reformasi,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa nepotisme yang merajalela selama masa pemerintahan Soeharto memicu gerakan reformasi yang pada akhirnya menlahirkan demokrasi dan keterbukaan di Indonesia. Namun, ia menyoroti bahwa istilah reformasi itu sendiri dalam sejarah sebenarnya merupakan upaya kaum kaya untuk memisahkan kekuasaan gereja dan negara, tanpa menghilangkan pengaruh mereka terhadap keduanya, “Saya bilang istilah reformasi itu sendiri dalam historisnya sebenarnya karena saat itu orang orang-kaya ingin memisahkan kekuasaan gereja dan negara, dan orang kaya tetap berpengaruh terhadap rumah ibadah dan juga tetap berpengaruh terhadap negara karena mereka adalah pemasok keuangan bagi kepentingan negara lewat pajak,” ungkapnya.
Kemudian, Noersy mengkritik kelompok pro-liberal yang menurutnya telah menyimpang dari Pancasila. Ia menyebutkan bahwa gerakan demokrasi liberal yang disokong oleh National Democratic Institute (NDI) dan Carter Foundation telah mengubah UUD 1945 menjadi UUD 2002, yang dalam pandangannya bertentangan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
“Gerakan pada tanggal 22 dan 23 Agustus kemarin sebenarnya hanya ingin menyelamatkan demokrasi liberal, tanpa menyadari bahwa demokrasi liberal itu sendiri bertentangan dengan Pancasila,” kata Noersy. Ia juga mengkritik kelompok yang meneriakkan revolusi, dengan menilai bahwa mereka sebenarnya tidak memahami akar permasalahan yang ada, yakni penyimpangan dari UUD 1945 yang asli.
“Di sisi lain ada kelompok yang ingin kembali ke UUD 1945 agar bangsa ini menjadi bangsa yang setia, bangsa yang konsisten, bangsa yang penuh dengan pengakuan bahwa pendiri republik ini (Founding Father) telah berjuang dengan harta dan nyawanya untuk mempertahankan Republik ini sehingga punya harkat dan martabat, tidak seperti sekarang. jadi minimal ada tiga kelompok, kelompok yang ingin demokrasi liberal, kelompok yang ingin memakzulkan dan ada kelompok yang ingin mempertahankan dan kembali ke undang-undang Dasar 1945,” tandasnya.
Di akhir pembicaraannya, Noersy menyoroti bagaimana umat Islam di Indonesia telah tersesat jauh dari informasi yang benar. Ia mengkritik pernyataan-pernyataan yang menurutnya menyimpang dari ajaran Islam, seperti pandangan bahwa Islam adalah musuh Pancasila atau bahwa riba diperbolehkan. Menurutnya, kekacauan berpikir seperti ini merupakan bagian dari perang ideologis yang telah berlangsung sejak kekalahan Bani Umayyah di Spanyol.
“Noersy mengajak pemirsa Radio Silaturahim, baik pendengar maupun penonton di Rasil TV, untuk tidak tersesat dengan situasi ini,” pungkasnya. Ia menegaskan bahwa umat Islam harus tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang benar dan tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dialog bersama Ichsanudin Noorsy yang dihadirkan setiap Selasa di Radio Silaturahim ini menjadi sorotan penting dalam memahami dinamika politik Indonesia saat ini, di mana, menurutnya, berbagai kelompok terus berusaha menunjukkan eksistensinya di tengah ketidakpuasan publik yang semakin meluas.