Selasa, 20 Zulqaidah 1445 H/ 28 Mei 2024
artikel Hidayatullah.com
Mimpi! demikian sindiran netizen jika dikatakan Indonesia bisa menggratiskan pendidikan dan kesehatan. Ada sikap pesimis bahkan dianggap mustahil hal tersebut terwujud. Mengingat anggaran dalam kedua bidang tersebut teramat gendut. Tak sedikit rakyat gigit jari dalam menikmati pelayanan pendidikan dan kesehatan. Padahal asa setiap rakyat, ingin terpenuhi kebutuhan pokok tersebut secara layak dan murah.
Di media sosial bejibun menyajikan fakta mirisnya dunia pendidikan dan kesehatan. Ada guru dan tenaga kesehatan honorer bergaji di bawah 350.000/bulan, di potong lagi biaya transportasi dan sering telat dibayar. Ada guru dan tenaga kesehatan berjibaku dengan jalan rusak berlumpur atau sungai ganas bermodalkan perahu seadanya demi mengabdi. Ada sekolah ambruk karena lapuk dimakan usia yang memakan korban guru dan siswa. Ada pasien meregang nyawa tak terlayani rumah sakit lantaran tak mampu bayar. Ada tenaga kesehatan di pedalaman yang ‘berakrobat’ dengan fasilitas medis minim untuk menyelamatkan nyawa pasien. Ada siswa bertaruh nyawa dengan bergelantungan di tali jembatan seberangi sungai ke sekolah. Jeritan mahasiswa seantero negeri terkait mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ya sejuta persoalan bak benang kusut berpangkal biaya melingkupi dunia pendidikan dan kesehatan.
Kebijakan pemerintah memang menetapkan mandatory spending untuk pendidikan paling sedikit 20% dari APBN dan APBD total anggaran. Untuk kesehatan setidaknya 5% dari total anggaran APBN dan 10% dari total anggaran APBD. Tapi menurut International Institute for Management Development (IMD), anggaran pendidikan Indonesia termasuk rendah di dunia, yaitu peringkat 9 dari bawah. Pun sama, menurut World Bank, anggaran kesehatan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara-negara middle income lainnya. Sudahlah anggarannya rendah, acapkali disunat dalam penyalurannya, baik di pusat maupun di daerah. Fakta ini sudah menjadi rahasia umum. Menyedihkan. Harus diakui belum ada komitmen kuat pemerintah menjamin pendidikan dan kesehatan rakyat.
Padahal ada pidato menarik yang viral dari Menko Polhukam Mahfud MD tahun lalu. Beliau mengutip pernyataan pejabat PPATK Abraham Samad. Bahwa kalau saja di dunia pertambangan dapat menghapus celah korupsi, setiap kepala orang Indonesia mendapatkan 20 juta/bulan tanpa kerja apapun. Pidato ini patut diaminkan. Tak diragukan lagi, sumber keuangan dari pengelolaan SDA saja sudah lebih dari cukup menjadi sumber biaya pendidikan dan kesehatan. Tak perlu menarik sejuta pajak yang memberatkan rakyat.
Tapi sayangnya, pemerintah sampai detik ini masih menutup mata terkait sumber keuangan ini. Lantaran pemerintah memberlakukan pengelolaan SDA secara liberal kapitalistik. Yaitu pengelolaan SDA bukan di tangan negara. Tapi diserahkan pada Badan Usaha (korporasi) baik atas nama pemerintah, swasta, maupun asing. Negara hanya berperan sebagai regulator. Negara hanya mendapat ‘jatah’ berupa royalti yang tak sepadan.
Dalam Islam, pendidikan dan kesehatan termasuk kebutuhan pokok yang langsung dijamin pemenuhannya oleh negara. Artinya negara yang menyediakan biaya, sarana prasarana, Sumber Daya Manusia dan semua yang terkait dalam pemenuhan kebutuhannya. Negara menggunakan pos kepemilikan umum dari baitul mal dalam pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Pos ini diperoleh dari pengelolaan SDA air (laut, sungai, danau, rawa); padang (isi perut bumi) dan api (sumber energi panas bumi, gas, tenaga surya, api menyala).
Syari’at Islam memberikan kekuasaan pada negara untuk mengelola kepemilikan umum. Diharamkan pengelolaannya diserahkan pada individu atau badan usaha (baik dalam negeri atau asing). Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.”
Apabila pos ini kosong, pembiayaannya diambil dari pos selain kepemilikan umum dalam baitul mal. Jika semua pos baitul mal kosong, kebijakan negara memungut pajak atas muslim yang kaya.
Pun jika tak mencukupi juga negara dapat mengambil langkah berhutang tanpa riba. Tapi langkah-langkah ini hanya bersifat sementara. Setelah pos terpenuhi kembali, segera dihentikan. Negara juga dapat membangkitkan semangat berinfaq rakyat dalam membantu negara terkait biaya ini. Sehingga hanya dalam sistem Islam ada jaminan bagi rakyat menikmati pendidikan dan kesehatan secara layak dan murah.
Wallahu ‘Alam Bishawwab