“Tajuk Rasil”
Selasa, 21 Dzulqoidah 1443 H/ 21 Juni 2022
Hindari Sikap dan Pandangan Kebhinekaan yang Menebar Virus Perpecahan
Oleh: Freddy Mutiara, Jurnalis dan Akademisi
Upaya untuk terus melakukan labeling dan branding politik intoleran dan radikal terhadap kandidat kuat Calon Presiden 2024 Anies Rasyid Baswedan terus berlangsung. Terbaru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan pihaknya tak akan mendukung Anies Baswedan jika maju di Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024. Hal ini dinyatakan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie Ahad lalu.
Lebih lanjut Grace menyatakan bahwa PSI berkomitmen anti terhadap intoleransi dan korupsi sehingga pihaknya tak mendukung Anies Baswedan. Labeling politik intoleran dan radikal tersebut coba terus dikaitkan PSI dengan fenomena yang menyertai Pilkada DKI Jakarta 2017. Saat itu, Ahok terpeleset lidah mengutip ayat suci Alquran yang bukan ranah keimanannya memicu kemarahan kalangan Islam dan berujung di pengadilan. Akibatnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tidak tahu-menahu ikut kena getah dan terseret dalam pusaran polarisasi politik identitas. Anies turut dicap intoleran, radikal, anti-Kristen, dan berbagai labeling rasis lainnya karena saat itu maju juga sebagai calon Gubernur DKI Jakarta hingga terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017-2022.
Namun, pengamat politik BRIN Siti Zuhro memperkirakan dalam menyongsong Pemilu 2024 diyakini masyarakat tidak akan berpandangan kelompok tertentu lebih religius, nasionalis, dan lain sebagainya. Siti Zuhro menilai situasi politik sekarang sudah jauh lebih terbuka dan cair, sehingga isu seperti radikal, non-radikal, dan semacamnya tidak lagi berlaku pada Pemilu 2024.
Bisa diduga, dengan terus memainkan rumor intoleran, radikal, dan lain sebagainya, terhadap Anies secara tidak proporsional di panggung depan politik dan media, justru PSI-lah yang telah bertindak intoleran. Di panggung belakang, bukan mustahil, rumor tersebut terus dilempar untuk memperkuat market positioning politik PSI dan memperkuat bargaining elektoral politik PSI di hadapan para die hard Ahok demi pileg 2024 dan upaya masuk Senayan yang sebelumnya gagal diraih PSI karena tidak mencapai ambang batas suara (electoral threshold) di Senayan.
Dalam sebuah kesempatan diskusi tatap muka pribadi selama sekitar satu jam dengan penulis pada Maret 2022, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan komitmen dan posisinya terhadap toleransi dan kelompok minoritas. Anies menjelaskan, beliau memilih tidak membantah labeling intoleran terhadap beliau dengan kata-kata, karena akan disanggah dengan kata-kata pula. Namun, kata beliau, biarkan fakta-fakta track record selama empat tahun lebih memimpin DKI Jakarta yang menjawab labeling tersebut. Dalam sebuah nada tanya, Anies berkata langsung kepada penulis, “Tunjukkan apakah ada kebijakan saya selama menjabat Gubernur DKI Jakarta yang diskriminatif?”
Pernyataan Anies ini sangat objektif. Sebagai orang yang pernah mengemban posisi pejabat publik pada dua posisi strategis—Mendikbud selama dua tahun dan Gubernur DKI Jakarta selama lima tahun–di Tanah Air dalam kurun waktu lama, total tujuh tahun, Anies harus dinilai dari kebijakan publiknya selama tujuh tahun menjadi pejabat publik itu. Selama tujuh tahun itu, adakah kebijakan publik dari Anies yang intoleran dan radikal? Atau justru sebaliknya, fakta selama tujuh tahun itu, kebijakan publik Anies justru memperkuat kebhinnekaan yang ika, keragaman, tidak menghasilkan kegaduhan politik yang kontraproduktif, dan harmoni masyarakat DKI Jakarta dan Indonesia.
Kalau soal korupsi, kita berpegang pada fakta hukum saja. Selama tidak ada fakta hukumnya yang berarti isu korupsi tersebut memang tidak lebih dari sekadar rumor. Rumor yang lagi-lagi dipakai menjadi kampanye hitam (black campaign), bukan kampanye negatif (negative campaign), karena tidak ada faktanya.
Penulis cenderung sepakat dengan pandangan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. tentang Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Beliau menyebutkan, adalah penting meneguhkan keindonesiaan dengan jiwa “Bhinneka Tunggal Ika” yang utuh antara “kebhinnekaan” dan “ketunggalan” secara moderat atau dengan pandangan moderasi agar tidak terjebak pada paham yang sempit, parsial, dan radikal-ekstrem atau radikal-liberal mengenai kebhinnekaan. “Bhinneka” dan “tunggal ika” itu satu kesatuan. Bukan sesuatu yang terpisah. Jangan terus menggelorakan kebhinnekaan, seraya lupa atau abai menyuarakan ketunggalan atau kesatuan dan persatuan, sehingga terjadi ketidakseimbangan.
Pandangan “Bhinneka Tunggal Ika” niscaya dikonstruksi secara moderat dengan perspektif moderasi yang utuh dan tidak bias ekstremis. Hindari sikap dan pandangan kebhinnekaan yang menebar virus perpecahan di negeri tercinta. Energi persatuan penting didorong kuat ke depan untuk menjadi alam pikiran kolektif yang positif di ruang publik. Karena sejatinya Indonesia itu tidak hanya “bhinneka” tetapi “tunggal ika.” Sudahi membidik anti-kebhinnekaan kepada golongan tertentu, tanpa refleksi apakah diri sendiri sudah benar-benar berpaham Bhinneka Tunggal Ika secara jujur dan autentik. Indonesia harus bangkit dari radikal berbangsa ke moderat ber-Indonesia, dari dogma Pancasila ke praksis nyata, dari chauvinisme ke universalisme, permusuhan ke persatuan, euforia kebhinnekaan ke jiwa bersatu, dan dari menebar benci ke cinta kasih anak negeri, tegas Haedar.
Karena itu, agar dalam kontestasi pilpres 2024 lebih banyak diisi dengan adu politik gagasan dan program antar-kontestan, daripada serangan yang berusaha mendelegitimasi lawan politik dengan kampanye hitam yang membelah anak bangsa serta tidak substansial dalam memilih calon pemimpin bangsa terbaik.
Wallahu a’lam bish shawab