Tajuk Rasil : Pilpres 2024, Presiden Harus Netral

Selasa, 24 Shafar 1444 H/ 19 September 2022

Oleh: Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

Ketika mau turun tahta dari istana, Habibi diam. Tidak ikut campur proses pemilihan presiden. Tidak melakukan lobi-lobi di MPR untuk mendukung siapapun. Pilihan punya, tetapi demokrasi tetap hal utama. Tahun 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih. Tak ada intervensi dan campur tangan Habibi. Pemilihan di MPR berjalan secara fair. Masyarakat secara umum menerima hasil pemilihan presiden.

Tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono nyapres. SBY adalah Menkopolhukan presiden Megawati Soekarno Putri. Keduanya bersaing di pilpres 2004. Megawati kalah dan SBY jadi presiden. Bagaimana sikap politik Megawati? Terima kekalahan dan akui SBY sebagai presiden. Lalu, PDIP ambil peran sebagai oposisi. Hal biasa dalam demokrasi, pihak yang kalah jadi oposisi. Melakukan check and balances.

Tahun 2014, Jokowi terpilih jadi presiden. Susilo Bambang Yudhoyono, presiden saat itu tidak ikut intervensi. Jika punya dukungan, tidak mencolok. Gak katrok, kata orang Jawa. Sikap politiknya elegan. Tidak ikut pra-kondisi partai maupun relawan. Tidak intimidasi calon. Tidak melakukan intervensi terhadap aparatur negara untuk memenangkan calon tertentu. SBY memberi ruang yang cukup demokratis untuk kontestasi di pilpres 2014. Pilpres enak dilihat dan bisa dinikmati.

Meski Jokowi diusung oleh PDIP yang notebene adalah oposisi saat itu, SBY tidak terlihat menghalang-halangi Jokowi di dalam proses pilpres. Begitu juga dengan Prabowo. Meski didampingi oleh Hatta Radjasa, besannya SBY, presiden ke-6 ini tak terlihat menunjukkan dukungannya. Keduanya dibiarkan untuk berkompetisi dengan fair. Sebagai kepala negara, SBY berupaya menjaga agar pilpres 2014 berjalan secara demokratis, aman dan sukses. Begitulah selayaknya seorang negarawan. Dengan semua kelebihan dan kekurangannya, SBY telah memposisikan dirinya sebagai Bapak Bangsa.

Apa yang dilakukan oleh Habibi, Megawati dan SBY, layak untuk diwarisi oleh para pemimpin Indonesia. Siapapun pemimpin itu, termasuk Jokowi dan presiden-presiden berikutnya. Intervensi presiden di pilpres hanya akan merusak demokrasi. Keterlibatan aparatur negara dalam politik praktis akan merusak kinerja dan profesionalisme mereka. Sistem birokrasi akan berantakan. Undang Undang telah menginstruksikan agar aparat netral. Siapapun yang jadi pemimpin, mereka harus loyal dan tetap bisa bekerja secara profesional.

Sebaliknya, jika aparatur negara ikut berpolitik praktis, apa jadinya pemerintahan kita. Pasti berantakan. Yang menang akan menyingkirkan pihak-pihak yang tidak mendukung, meski mereka punya kinerja dan prestasi yang baik. Karir mereka akan dihabisi. Para pendukung diakomodir, meskipun kinerjanya buruk. Ini akan menciptakan disharmoni, kualitas kinerja yang menurun dan persaingan antar pegawai yang semakin tidak sehat. Tak ada pilihan yang lebih tepat dan rasional bagi seorang presiden kecuali netral di pilpres. Hanya itu sikap politik yang sesuai dengan aturan perundang-undangan. Sebuah sikap politik yang paling elegan. Biarkan rakyat menentukan nasib bangsa ini kedepan dengan memilih seorang pemimpin sesuai kehendak mereka. Tidak boleh dibatasi dan diintimidasi oleh siapapun.

Jika pemimpin negara melakukan intervensi di dalam pilpres, ikut menentukan dan membatasi calonnya, yang nyalon harus ini dan itu, kemudian menghalangi orang yang tidak disukai untuk ikut nyalon, ini tidak hanya menyebabkan suara rakyat terkoptasi dan hasil pemilu jauh dari aspirasi rakyat, tapi hal ini potensial menimbulkan chaos. Para pendukung calon yang secara vulgar diganjal bisa melakukan perlawanan. Khawatirnya, perlawanan itu masif dan berakibat menggagalkan pemilu itu sendiri.

Intervensi presiden juga dapat mendorong presiden-presiden berikutnya ikut melakukan hal yang sama, bahkan bisa lebih parah lagi. Hal ini akan menjadi semacam yurisprudensi. Berikutnya akan dianggap wajar dan legal seorang presiden melakukan intervensi di dalam pilpres. Sikap interventif ini juga menegaskan bahwa ia bukan presiden bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi presiden untuk kelompok dan golongan tertentu. Dan ini tentu jauh dari sikap seorang negarawan. Seorang negarawan selalu berdiri di atas kepentingan semua golongan dan semua rakyat. Apapun mazhab politiknya. Itulah negarawan.

Siapapun presiden, pemilu itu hak dan pesta demokrasi rakyat. Biarkan rakyat berijtihad untuk memilih orang yang mereka inginkan memimpin bangsa ini. Rakyat punya nurani, biarkan mereka bersuara sesuai nuraninya.

Wallahu ‘alam bisshawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *